4.
"Tit," Terdengar bunyi singkat yang cukup mungil disertai cahaya merah
yang seketika menerangi ruang 3×2 sebelah kiri depan Rumah No 7 Blok K Sawangan Regency, Depok yang telah gelap gulita karena telah
dipadamkannya lampu yang melekat di atap atasnya. Waktu telah menunjukkan pukul
22:40, waktu yang sudah cukup larut untuk memulai obrolan melalui benda ajaib kecil penghubung termutakhir masa ini, smartphone. Iya, hari sudah terlalu larut untuk berbincang mengingat kewajiban esok pagi untuk bangun dan
bersiap sekolah.
Setelah tadi cukup lama bagiku bergulat dengan kerut di kening dan seringai di mulut menanti bunyi ini keluar dari persembunyiannya. Sedari tadi aku sudah menunggu momen ini, momen dimana benda kecil ajaib itu berbunyi dengan disertai cahaya merah dari lampu kecil disudut kanannya. Cahaya lampu merah itu menunjukan bahwa benar itulah dia yang aku tunggu, warna merah yang spesial aku atur hanya khusus untuk dia, dia yang entah sedari berapa banyak jam tadi tak kuketahui sedang apa, berbuat apa dan bersama siapa.
Kubuka 4 pesan line sekaligus, tempat asal lampu merah yang tadi begitu menerangi kamarku, pesan yang hampir menutupi 5 inch layar smartphone-ku.
Pesan pertama
"Maaf aku baru bisa balas chat kamu, tadi ada banyak hal yang harus aku lakukan, sebelum maghrib aku harus mengantar mama ke tempat temannya, kemudian tepat maghrib aku sudah harus berada di rumah, ada guru privatku yang telah datang 30 menit sebelum maghrib tiba, alhasil aku harus terburu-buru untuk segera pulang."
Pesan kedua
"Seusai belajar bersama dengan guruku, masih ada banyak hal yang harus aku kerjakan, mmmm tidak sedikit yang harus aku kerjakan, maaf ya."
Pesan ketiga
"Kamu sedang apa skrg?, sudah tidur ya? Maaf ya aku baru bisa membalas chat-mu semalam ini:("
Pesan keempat
"Yasudah kalau begitu, selamat malam, selamat tidur, mimpi indah, sayang, maaf ya."
Entah aku harus tersenyum atau menangis membaca 4 pesan tersebut, hampir 4×2 jam dirinya hilang entah ditelan bumi yang mana, tiba-tiba muncul di hampir tengah malam dengan hanya memberi 4 pesan kabar yang terdiri 4 kata maaf dan kesimpulan yang cukup empat(re: empet) untuk dibaca.
Setelah tadi cukup lama bagiku bergulat dengan kerut di kening dan seringai di mulut menanti bunyi ini keluar dari persembunyiannya. Sedari tadi aku sudah menunggu momen ini, momen dimana benda kecil ajaib itu berbunyi dengan disertai cahaya merah dari lampu kecil disudut kanannya. Cahaya lampu merah itu menunjukan bahwa benar itulah dia yang aku tunggu, warna merah yang spesial aku atur hanya khusus untuk dia, dia yang entah sedari berapa banyak jam tadi tak kuketahui sedang apa, berbuat apa dan bersama siapa.
Kubuka 4 pesan line sekaligus, tempat asal lampu merah yang tadi begitu menerangi kamarku, pesan yang hampir menutupi 5 inch layar smartphone-ku.
Pesan pertama
"Maaf aku baru bisa balas chat kamu, tadi ada banyak hal yang harus aku lakukan, sebelum maghrib aku harus mengantar mama ke tempat temannya, kemudian tepat maghrib aku sudah harus berada di rumah, ada guru privatku yang telah datang 30 menit sebelum maghrib tiba, alhasil aku harus terburu-buru untuk segera pulang."
Pesan kedua
"Seusai belajar bersama dengan guruku, masih ada banyak hal yang harus aku kerjakan, mmmm tidak sedikit yang harus aku kerjakan, maaf ya."
Pesan ketiga
"Kamu sedang apa skrg?, sudah tidur ya? Maaf ya aku baru bisa membalas chat-mu semalam ini:("
Pesan keempat
"Yasudah kalau begitu, selamat malam, selamat tidur, mimpi indah, sayang, maaf ya."
Entah aku harus tersenyum atau menangis membaca 4 pesan tersebut, hampir 4×2 jam dirinya hilang entah ditelan bumi yang mana, tiba-tiba muncul di hampir tengah malam dengan hanya memberi 4 pesan kabar yang terdiri 4 kata maaf dan kesimpulan yang cukup empat(re: empet) untuk dibaca.
Andai dia
berpikir sudah 4 kali berapa kali dia melakukan hal ini, pertama menyapaku
lewat pesan line sehabis mengantarkanku pulang, dan kurang dari semenit aku
membalas pesannya, dia hilang, hilang seperti tengah berburu di hutan
rimba dari pagi hingga petang, yang memunculkan kerut di keningku dan seringai tak sedap dipandang di mulutku. Kemudian ia baru muncul, pulang dari perburuannya ketika kerut
di keningku sudah mulai kaku mengeras, dan seringai di mulutku sudah mulai
mengering, terkelupas.
Iya, entah sudah 4 kali berapa kali dia melakukan hal yang sama padaku. Aku kesal, kesal bukan main. Aku kesal bukan karena dia lebih mementingkan yang lain ketimbang diriku. Aku kesal karena setiap dia seperti ini, hilang entah ditelan bumi yang mana otakku ini tak pernah berhenti memikirkan hal-hal mengerikan yang bisa saja terjadi padanya, mungkin ia terjatuh dari pohon, tertabrak gerombolan serigala yang tengah mengejar mangsanya, tertembak peluru para pemburu di hutan belantara,
Iya, entah sudah 4 kali berapa kali dia melakukan hal yang sama padaku. Aku kesal, kesal bukan main. Aku kesal bukan karena dia lebih mementingkan yang lain ketimbang diriku. Aku kesal karena setiap dia seperti ini, hilang entah ditelan bumi yang mana otakku ini tak pernah berhenti memikirkan hal-hal mengerikan yang bisa saja terjadi padanya, mungkin ia terjatuh dari pohon, tertabrak gerombolan serigala yang tengah mengejar mangsanya, tertembak peluru para pemburu di hutan belantara,
Atau mungkin ia tengah menyantap makan
malamnya sambil asyik bercengkrama dengan seorang
wanita bertubuh langsing nan pipinya tirus, beraroma mawar melati pagi nan segar sambil tertawa manis bersama dan saling bercumbu.
Yang terakhir ini merupakan bagian yang sebenarnya paling mengerikan, dan yang paling mungkin, mungkin.
Setiap dia hilang entah dtelan bumi yang mana harus aku akui bahwa aku tak pernah berhenti membayangkan hal itu. Dan setiap itu juga seketia aku berusaha merangkai kata-kata ampuhku untuk kukirimkan kepadanya untuk menjawab empat pesan disertai empat kata maafnya itu. Rangkaian kata-kata tajam yang merepresentasikan kerut di keningku yang sudah mulai kaku mengeras dan seringai di mulutku yang hampir mengering terkelupas. Rangkaian kata-kata ala perempuan-perempuan hilang setengah kesadaran yang menghasilkan suasana yang sama mencekamnya dengan suasana perang dunia kedua. Rangkaian kata-kata di bab-bab krusial yang tertera dalam novel-novel teenlit bacaanku sekitar 3 tahun yang lalu. Rangkaian kata-kata ampuh yang cukup sebanding seramnya dengan bayangan gilaku tadi yang kemudian menurutku dapat melipatgandakan 4 kata maaf nya menjadi mungkin 16, atau 64, atau 256 ataupun 1024.
Setiap dia hilang entah dtelan bumi yang mana harus aku akui bahwa aku tak pernah berhenti membayangkan hal itu. Dan setiap itu juga seketia aku berusaha merangkai kata-kata ampuhku untuk kukirimkan kepadanya untuk menjawab empat pesan disertai empat kata maafnya itu. Rangkaian kata-kata tajam yang merepresentasikan kerut di keningku yang sudah mulai kaku mengeras dan seringai di mulutku yang hampir mengering terkelupas. Rangkaian kata-kata ala perempuan-perempuan hilang setengah kesadaran yang menghasilkan suasana yang sama mencekamnya dengan suasana perang dunia kedua. Rangkaian kata-kata di bab-bab krusial yang tertera dalam novel-novel teenlit bacaanku sekitar 3 tahun yang lalu. Rangkaian kata-kata ampuh yang cukup sebanding seramnya dengan bayangan gilaku tadi yang kemudian menurutku dapat melipatgandakan 4 kata maaf nya menjadi mungkin 16, atau 64, atau 256 ataupun 1024.
"Iya, ngga papa sayang, aku tahu banyak hal yang kamu harus kerjakan, selamat tidur juga, sayang:)"
Bukan, bukan kata-kata ini yang aku rangkai, tapi ini yang terlanjur kukirim.
Emp(a)/(e)t.
Bukan, bukan kata-kata ini yang aku rangkai, tapi ini yang terlanjur kukirim.
Emp(a)/(e)t.
the person you care for the most, is the person you'll let hurt you the most, they say.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home