Saturday, May 16, 2015

Ikhlas, Na.

Kalau kemarin aku menulis hal ini, mungkin hasilnya akan berbeda.

Karena kata orang dont post anything when you were angry, aku lakukan itu, karena aku yakin semua tidak akan baik ketika kita sedang marah.

Sebenarnya ini bukan kali pertama aku marah karena hal ini, ini sudah kesekian ratus kalinya. Seperti biasa, aku marah kepada mama, karena apa? karena mama tidak mau dengar kata-kataku yang menurutku baik untuknya. Iya, selalu ini yang aku katakan untuk memulai cerita sejenis ini.

Sebelumnya aku tidak pernah menulis tentang mama, tentang aku, dan apa yang melekat pada kami, karena aku pikir aku masih sanggup menutupi hal ini, dengan cerita-cerita lainnya tentang hal lainnya.

Ketika pada akhrinya aku menceritakan hal sejenis ini pada orang lain, ujung-ujungnya aku menutupi hal ini, yang hendak aku sampaikan.

Ketika aku berumur 11 tahun tepatnya kelas 5 SD, aku masih ingat betul itu tanggal berapa, 17 Oktober 2005. Hari itu masih bulan ramadhan, kami sekeluarga harusnya sahur bersama, tapi hari itu berbeda, mama tidak ikut sahur, mama duduk terdiam di sebelah pintu kamarnya. Semua orang tampak begitu tidak biasa hari itu, semuanya mencoba bicara dengan mama. Aku pun melakukan hal yang sama, aku terus mencoba mengajak mama bicara, mata mama saat itu terbuka, ia mendengar suara, ia mengarahkan pandangannya ke arah suara yang mengajaknya berbincang, tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mama, saat itu menjulurkan lidah saja sepertinya mama kesulitan.

Sampai akhirnya mama dibawa ke rumah sakit, dan siang harinya aku tahu mama terkena serangan stroke. Saat itu aku tahu itu penyakit jenis apa, penyakit yang sering jadi bahan becandaan orang-orang yang kata mereka nih nih mulutnya mencong kayak stroke. Biarlah, mungkin mereka tidak pernah ada di posisi seperti aku. Aku sepanjang hari, sepanjang hari-hari sebeneranya, hanya menangis, saat itu aku takut sekali, takut akan berbagai hal, tangisku mungkin berlanjut sampai sekarang.

Sejak saat itu semua berbeda, mama bukan jadi mama yang aku kenal sebelumnya, bukan mama yang suka bersolek di depan kaca melilit-lilikan jilbannya ke dalam leher, bukan mama yang setiap weekend ke Cikampek untuk bertemu kolega bisnis Telekomunikasinya, bukan mama yang suka membelikan aku baju selusin setiap bulannya, bukan mama yang tiap dua bulan sekali harus ikut penataran guru di luar kota, bukan mama yang seperti itu lagi.

Mama tidak pernah mengikuti terapi apapun, mama juga tidak berusaha mengembalikan dirinya untuk menjadi seperti dulu, yang aku tahu saat itu mama berpikir penyakitnya adalah karena ia jauh dari Allah dan ia diingatkan dengan sakitnya, jadi dia benar-benar meninggalkan kehidupan ambisiusnya setelah sakit, itu saja yang aku tahu, sisanya, entahlah.

Tapi sejak saat itu, ini menurutku, sekali lagi menurutku, mama jadi begitu egois, pemikirannya seperti anak-anak, ia tidak mau dengar perkataan anak-anaknya, untuk diberitahu hal kecil saja perlu sampai akibat buruk terjadi dahulu, baru dia melakukannya. Itulah yang membuatku selalu bertengkar dengannya, dan aku menangis.

Aku tahu kenapa aku begini terus. Entahlah, setiap kali aku berusaha memahami bahwa ini adalah bagian dari hidupku, aku marah. Aku butuh mama seperti mama kebanyakan, mama yang enak diajak berbincang, mama yang mengerti kehidupan masa kini, mama yang tahu anaknya butuh apa. Aku merasa ini tidak adil, sebab di seusaiku sekarang Uni Vivi berkesempatan punya mama yang demikian, mama yang dibutuhkan anak perempuan kebanyakan, aku?


Itu yang membuatku marah dan menangis kemarin hingga akhirnya aku tersadar.

“Kayaknya dulu awal-awal sakit mama ngga gini-gini amat, Un. Emang bisa ya tambah parah?”

“Ya bisa lah, mama kan juga udah tua, 56 tahun, juga setelah sakit ngga dilatih apa-apa, ya jadi begini.”

“Jadi bisa tambah parah?”

“Ina, apa pun yang ada saat ini, ini yang terbaik menurut Allah, semua kan ada masanya, masanya dulu mama sukses dimana-mana, coba terus begitu, mama mungkin ngga disini, kemana-mana, tetap percaya aja ini yang terbaik dari Allah.”


Iya, semua ada masanya.
Bismillah, sekarang masanya aku sadar bahwa semua ada masanya.

Ikhlas, Na.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home