Ikhlas, Na.
Kalau kemarin aku menulis hal ini, mungkin hasilnya
akan berbeda.
Karena kata orang dont
post anything when you were angry, aku
lakukan itu, karena aku yakin semua tidak akan baik ketika kita sedang marah.
Sebenarnya ini bukan
kali pertama aku marah karena hal ini, ini sudah kesekian ratus kalinya.
Seperti biasa, aku marah kepada mama, karena apa? karena mama tidak mau dengar
kata-kataku yang menurutku baik untuknya. Iya, selalu ini yang aku katakan
untuk memulai cerita sejenis ini.
Sebelumnya aku tidak
pernah menulis tentang mama, tentang aku, dan apa yang melekat pada kami,
karena aku pikir aku masih sanggup menutupi hal ini, dengan cerita-cerita
lainnya tentang hal lainnya.
Ketika pada akhrinya
aku menceritakan hal sejenis ini pada orang lain, ujung-ujungnya aku menutupi
hal ini, yang hendak aku sampaikan.
Ketika aku berumur 11
tahun tepatnya kelas 5 SD, aku masih ingat betul itu tanggal berapa, 17 Oktober
2005. Hari itu masih bulan ramadhan, kami sekeluarga harusnya sahur bersama,
tapi hari itu berbeda, mama tidak ikut sahur, mama duduk terdiam di sebelah
pintu kamarnya. Semua orang tampak begitu tidak biasa hari itu, semuanya mencoba
bicara dengan mama. Aku pun melakukan hal yang sama, aku terus mencoba mengajak
mama bicara, mata mama saat itu terbuka, ia mendengar suara, ia mengarahkan
pandangannya ke arah suara yang mengajaknya berbincang, tapi tak ada sepatah
kata pun yang keluar dari mama, saat itu menjulurkan lidah saja sepertinya mama
kesulitan.
Sampai akhirnya mama
dibawa ke rumah sakit, dan siang harinya aku tahu mama terkena serangan stroke. Saat itu aku tahu itu penyakit
jenis apa, penyakit yang sering jadi bahan becandaan orang-orang yang kata
mereka nih nih mulutnya
mencong kayak stroke. Biarlah,
mungkin mereka tidak pernah ada di posisi seperti aku. Aku sepanjang hari, sepanjang
hari-hari sebeneranya, hanya menangis, saat itu aku takut sekali, takut akan
berbagai hal, tangisku mungkin berlanjut sampai sekarang.
Sejak saat itu semua berbeda, mama bukan jadi mama yang aku
kenal sebelumnya, bukan mama yang suka bersolek di depan kaca melilit-lilikan
jilbannya ke dalam leher, bukan mama yang setiap weekend ke Cikampek untuk bertemu kolega bisnis Telekomunikasinya,
bukan mama yang suka membelikan aku baju selusin setiap bulannya, bukan mama
yang tiap dua bulan sekali harus ikut penataran guru di luar kota, bukan mama
yang seperti itu lagi.
Mama tidak pernah mengikuti terapi apapun, mama juga tidak
berusaha mengembalikan dirinya untuk menjadi seperti dulu, yang aku tahu saat
itu mama berpikir penyakitnya adalah karena ia jauh dari Allah dan ia
diingatkan dengan sakitnya, jadi dia benar-benar meninggalkan kehidupan
ambisiusnya setelah sakit, itu saja yang aku tahu, sisanya, entahlah.
Tapi sejak saat itu, ini menurutku, sekali lagi menurutku,
mama jadi begitu egois, pemikirannya seperti anak-anak, ia tidak mau dengar
perkataan anak-anaknya, untuk diberitahu hal kecil saja perlu sampai akibat
buruk terjadi dahulu, baru dia melakukannya. Itulah yang membuatku selalu
bertengkar dengannya, dan aku menangis.
Aku tahu kenapa aku begini terus. Entahlah, setiap kali aku
berusaha memahami bahwa ini adalah bagian dari hidupku, aku marah. Aku butuh mama
seperti mama kebanyakan, mama yang enak diajak berbincang, mama yang mengerti
kehidupan masa kini, mama yang tahu anaknya butuh apa. Aku merasa ini tidak
adil, sebab di seusaiku sekarang Uni Vivi berkesempatan punya mama yang
demikian, mama yang dibutuhkan anak perempuan kebanyakan, aku?
Itu yang membuatku marah dan menangis kemarin hingga
akhirnya aku tersadar.
“Kayaknya
dulu awal-awal sakit mama ngga gini-gini amat, Un. Emang bisa ya tambah parah?”
“Ya
bisa lah, mama kan juga udah tua, 56 tahun, juga setelah sakit ngga dilatih
apa-apa, ya jadi begini.”
“Jadi
bisa tambah parah?”
“Ina,
apa pun yang ada saat ini, ini yang terbaik menurut Allah, semua kan ada
masanya, masanya dulu mama sukses dimana-mana, coba terus begitu, mama mungkin
ngga disini, kemana-mana, tetap percaya aja ini yang terbaik dari Allah.”
Iya, semua ada masanya.
Bismillah, sekarang masanya aku sadar bahwa semua ada
masanya.
Ikhlas, Na.
Labels: Ngomongin Orang ++
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home