Mendalilkan Semua Atas free will lantas Menjadikan Kita Klasik
Free will atau kehendak bebas yang saya
bahas kali ini bukan berkaitan dengan masalah ketuhanan seperti yang banyak
diperdebatkan, saya tidak akan membahas mengenai pertentangan aliran jabariah
(paham determinisme atau keterpaksaan) dengan aliran qadariah (paham kebebasan
kehendak) yang terus berkutat mempertanyakan sejauh mana takdir ada dan
bekerja.
Terlepas dari perdebatan soal ketuhanan
tersebut, saya percaya bahwa manusia memang diberikan kemampuan berpikir untuk
bebas berkehendak, hal itu pun sekarang sudah dijamin oleh hampir seluruh
konsitusi di seluruh dunia, di Indonesia sendiri tak tanggung-tanggung dalam
UUD 1945 Pasal 28I ayat (1) diatur bahwa hak atas kemerdekaan pikiran dan hati
nurani adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.
Kali ini saya akan membahas kebebasan
berkehendak yang dikaitakan dengan perkembangan paradigma pemidanaan yang ada
sejak abad 18 sampai dengan masa modern seperti sekarang.
Walaupun pengakuan secara universal Hak
Asasi Manusia baru ada pada tahun 1948 (melalui UNDHR), paham tentang free will telah diakui sejak berkembangnya
filsafat pemidanaan. Aliran yang pertama kali membahas mengenai filosofi
pemidanaan adalah aliran klasik (abad ke-18) yang berpangkal pada
indeterminisme mengenai kebebasan kehendak bahwa manusia berhak untuk melakukan
apapun, termasuk didalamnya suatu tindak pidana, maka pada masa tersebut pidana
merupakan konsekuensi dilakukannya suatu kehendak bebas (yang dalam hal ini
adalah tindak pidana), sehingga pidana hanya memiliki tujuan untuk membalas
perbuatan kehendak bebas tersebut, jadi yang dipidana adalah perbuatannya,
tidak ada tujuan lain selain membalas perbuatan.
Lalu kemudian seiring dengan berkembangnya
ilmu alam seperti matematika, biologi, psikologi dan sejenisnya, pada abad
ke-19 munculah aliran modern dalam pemidanaan yang pertama kali dicetuskan oleh
Cessare Lambroso lewat hasil penelitiannya yang berjudul Born Criminal, penelitiannya menjukkan bahwa
terdapat kecenderungan fisikal tertentu yang ada pada pelaku kejahatan. Teori
ini lah yang kemudian melahirkan Krimonologi sebagai cabang ilmu pengetahuan
yang mencari jawaban mengenai latar belakang kejahatan. Hal yang krusial dari
aliran ini adalah pandangan bahwa free
will manusia banyak
dipengaruhi oleh watak dan lingkungan. Ilmu-ilmu alam yang berkembang pada masa
itu menjadi dasar manusia untuk mempelajari pola perilaku seseorang, termasuk
didalamnya ketika ia melakukan kejahatan atau tindak pidana. Dalam kerangka
sistem pertanggungjawaban pidana, aliran ini berjasa melahirkan suatu pandangan
determinisme yang selanjutnya melahirkan konsep individualisasi pidana, dimana
setelahnya melahirkan pandangan bahwa pemidanaan tidak hanya memperhatikan
perbuatan, melainkan juga latar belakang pelaku. Ada kalanya pelaku tindak
pidana tertentu memerlukan penanganan khusus, konsep ini pun didukung oleh
hampir semua ahli pidana terkemuka Indonesia seperti Barda Nawawi Arief,
Sudarto, Mardjono Reksodiputro dan lainnya. Salah satu pendapat yang selalu
saya ingat adalah pandangan Muladi yang menyatakan bahwa penerapan pemidanaan
yang sama untuk semua orang adalah suatu kebodohan, karena setiap orang,
termasuk seorang narapidana memiliki keunikan dan kebutuhan yang berbeda-beda.
Perkembangan selanjutnya kembali muncul,
yang agaknya sedikit menentang keberadaan aliran modern tersebut. Para penganut
aliran pendukung free will kembali bersuara, lewat filsafat
eksistensialisme, yaitu Albert Camus dan Jean-Paul Sartre, yang menamai diri
sebagai penganut aliran neo-klasik Terdapat perbedaan mendasar antara pendapat
yang disampaikan Albert Camus dengan Jean-Paul Sartre walaupun mereka sama-sama
menganut aliran free will. Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa
manusia memiliki kehendak bebas untuk melakukan segala tindakan, adanya
pendapat yang menyatakan bahwa tindakan manusia didasarkan pada watak dan
lingkungan adalah pelanggaran dari hakikat manusia yang memiliki free will tersebut, ia juga menentang adanya
pidana, menurutnya pidana justru membuat manusia sendiri tidak bebas -membaca
pendapat ini saya agak terkejut dan bersyukur, untungnya bukan ini yang
berkembang.
Pemikiran aliran neo-klasik yang
berkembang sekarang dan masih sering dibahas dan diupayakan adalah pemikiran
yang pertama kali dikembangkan oleh Albert Camus. Ia sepakat bahwa manusia
memiliki kehendak bebas untuk bertindak apapun, namun manusia juga memiliki
kemampuan untuk menyerap nilai-nilai baru, oleh karenanya manusia memiliki hak
untuk mempelajari dan beradaptasi dengan nilai baru tersebut. Atas pendapatnya ini Camus
menyatakan bahwa pidana tetap merupakan konsekuensi logis dari
disalahgunakannya kebebasan yang dimiliki manusia, namun manusia tetaop berhak
untuk mempelajari dan mengadaptasi nilai-nilai, sehingga menurutnya pidana itu
harus bermuatan mendidik. Pemidanaan harus menyertakan human offender (manusia sebagai pelanggar
kebebasan sehingga harus dikenakan sanksi) dan human power (manusia memiliki kekuatan untuk
memahami nilai-nilai baru untuk memperbaiki diri).
Paham terkahir ini lah yang melahirkan ide double track system dalam pemidanaan, yaitu
menyeimbangkan fungsi pemidanaan dengan sanksi dan tindakan -perlakukan khusus
sesuai latar belakang pelaku. Sistem ini dimuat dalam Rancangan KUHP yang
sampai dengan saat ini masih terus dibahas Pemerintah-DPR, dan saya dukung
dalam skripsi saya (yang belum selesai ini #lahbaper), dan ini adalah
filsafat pemidanaan yang paling modern
yang menyandingkan free will dengan kemampuan manusia untuk menyerap
nilai-nilai baru dalam masyarakat secara setara.
Pergeseran paradigma pemidanaan ini saya
kaitkan dengan isu seksualitas yang mungkin belakang ini sedang tenar (bukan
berusaha tendensius, tapi dengan judul skripsi saya yang seperti itu, saya pun
berkewajiban mengulas seksualitas dalam psikologi, khususnya sexual disorder
--fyi, saya membahas tentang pedofilia)
Saya mendapati bahwa penentuan apa yang
normal dan yang tidak normal dalam perilaku seksual adalah sesuatu yang
bervariasi bergantung pada tempat dan waktu. Perubahan zaman mempangaruhi
perilaku dan pengalaman seksualitas seseorang, salah satunya teknologi yang
tidak dipungkiri telah melahirkan bentuk-bentuk seksualitas yang baru.
Disamping pengaruh waktu dan tempat, tak bisa dipungkiri bahwa seksualitas
sangat bergantung dengan budaya dan kepercayaan. Clearly we must keep varying cultural norms in mind as we study
human sexual behavior -tanpa terjemahan bebas dari saya.
Selanjunya the American
Psychiatrist Association (APA)
lewat DSM 5 menjelaskan bahwa adakalanya kecenderungan seksual dan sexual desire tertentu mengejutkan masyarakat,
namun yang ditekankan oleh APA adalah when our fantasies or desire begin
to affect us or others in unwanted or harmful ways, they begin to qualify as
abnormal. hal ini lah yang mungkin melatarbelakangi
dihapuskannya hemoseksual sebagai salah satu gangguan seksual pada tahun 1973,
karena homoseksual dilakukan atas dasar konsesualisme without any unwanted or harmful ways.
In
1973 under pressure from various group, the DSM category “homosexuality” as a
sexual disorder was replaced by “sexual orientation disturbance”. The new
diagnosis was to be applied to gay men and lesbians disturbed by, in conflict
with or wish to change their sexual orientation.
Dari penjelasan ini saya berpendapat bahwa
alasan penghapusan tersebut sangat erat kaitannya free will itu sendiri, yaitu kebebasan manusia untuk bertindak, termasuk
untuk menjadi gay atau lesbian.
Namun, APA pun tetap memberikan ruang
kepada para homoseksual untuk dapat menjalani terapi tertentu jika memang
mereka mengalami distressed by the
arousal and wishes to become heterosexual hal ini dinyatakan dalam
DSM-IV-TR yang mengkategorikan homoseksual sebagai sexual disorder not otherwise specified yang merujuk pada persistent and marked distress about one’s
sexual orientation, yang dapat terjadi apabila seseorang mengalami gangguan
karena orientasi seksualnya. Hal ini lah yang menurut pandangan saya merupakan
sisi dari kemampuan manusia menyerap
nilai-nilai baru dalam masyarakat yang juga di-cover dalam ilmu psikologi sekalipun. Bagaimana pun, psikologi
sendiri memberi ruang untuk manusia menilai sesuatu yang normal atau tidak
berdasarkan budaya dan kepercayaanya.
Lantas apa yang kita harus lakukan?
Menjadikan para gay dan lesbian sebagai
objek kekerasan adalah kebinatangan paling luar biasa, Tuhan manapun tidak akan
pernah mengizinkan hamba-Nya untuk menjadi monster bagi manusia lainnya, saya
jamin bahwa saya penentang nomor satu untuk orang yang melegalkan kepalannya
untuk teman-teman gay dan lesbian. Maka sebaik-baiknya perkara adalah
dengan menyelasaikannya dengan ahlinya.
"Yang
membuat saya sekarang bingung, kok malah sekarang ribut sana sini, debat sana
sini. Bukannya harusnya kita duduk bersama dengan mereka, sama-sama berpikir untuk mencari
solusi, kalau seperti ini menimbulkan ketakutan, yang akan berdampak lebih buruk. Dok, I'm a gay and I'm so stressed, yang pertama saya lakukan adalah menghilangkan stresnya, setelahnya kita bisa bicarakan apa yang diinginkan dan yang terbaik untuk pasien" –Dr Suryo
Dharmono, Sp.KJ(K), 25 Maret 2016.
Iya, mencari solusi dengan ahlinya, menyetarakan free will dan kemampuan manusia menyerap nilai-nilai baru dalam
masyarakat. Itulah ciri masyarakat modern bukan?
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home