Saturday, April 9, 2016

Mendalilkan Semua Atas free will lantas Menjadikan Kita Klasik

Free will atau kehendak bebas yang saya bahas kali ini bukan berkaitan dengan masalah ketuhanan seperti yang banyak diperdebatkan, saya tidak akan membahas mengenai pertentangan aliran jabariah (paham determinisme atau keterpaksaan) dengan aliran qadariah (paham kebebasan kehendak) yang terus berkutat mempertanyakan sejauh mana takdir ada dan bekerja.

Terlepas dari perdebatan soal ketuhanan tersebut, saya percaya bahwa manusia memang diberikan kemampuan berpikir untuk bebas berkehendak, hal itu pun sekarang sudah dijamin oleh hampir seluruh konsitusi di seluruh dunia, di Indonesia sendiri tak tanggung-tanggung dalam UUD 1945 Pasal 28I ayat (1) diatur bahwa hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Kali ini saya akan membahas kebebasan berkehendak yang dikaitakan dengan perkembangan paradigma pemidanaan yang ada sejak abad 18 sampai dengan masa modern seperti sekarang.

Walaupun pengakuan secara universal Hak Asasi Manusia baru ada pada tahun 1948 (melalui UNDHR), paham tentang free will telah diakui sejak berkembangnya filsafat pemidanaan. Aliran yang pertama kali membahas mengenai filosofi pemidanaan adalah aliran klasik (abad ke-18) yang berpangkal pada indeterminisme mengenai kebebasan kehendak bahwa manusia berhak untuk melakukan apapun, termasuk didalamnya suatu tindak pidana, maka pada masa tersebut pidana merupakan konsekuensi dilakukannya suatu kehendak bebas (yang dalam hal ini adalah tindak pidana), sehingga pidana hanya memiliki tujuan untuk membalas perbuatan kehendak bebas tersebut, jadi yang dipidana adalah perbuatannya, tidak ada tujuan lain selain membalas perbuatan.

Lalu kemudian seiring dengan berkembangnya ilmu alam seperti matematika, biologi, psikologi dan sejenisnya, pada abad ke-19 munculah aliran modern dalam pemidanaan yang pertama kali dicetuskan oleh Cessare Lambroso lewat hasil penelitiannya yang berjudul Born Criminal, penelitiannya menjukkan bahwa terdapat kecenderungan fisikal tertentu yang ada pada pelaku kejahatan. Teori ini lah yang kemudian melahirkan Krimonologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang mencari jawaban mengenai latar belakang kejahatan. Hal yang krusial dari aliran ini adalah pandangan bahwa free will manusia banyak dipengaruhi oleh watak dan lingkungan. Ilmu-ilmu alam yang berkembang pada masa itu menjadi dasar manusia untuk mempelajari pola perilaku seseorang, termasuk didalamnya ketika ia melakukan kejahatan atau tindak pidana. Dalam kerangka sistem pertanggungjawaban pidana, aliran ini berjasa melahirkan suatu pandangan determinisme yang selanjutnya melahirkan konsep individualisasi pidana, dimana setelahnya melahirkan pandangan bahwa pemidanaan tidak hanya memperhatikan perbuatan, melainkan juga latar belakang pelaku. Ada kalanya pelaku tindak pidana tertentu memerlukan penanganan khusus, konsep ini pun didukung oleh hampir semua ahli pidana terkemuka Indonesia seperti Barda Nawawi Arief, Sudarto, Mardjono Reksodiputro dan lainnya. Salah satu pendapat yang selalu saya ingat adalah pandangan Muladi yang menyatakan bahwa penerapan pemidanaan yang sama untuk semua orang adalah suatu kebodohan, karena setiap orang, termasuk seorang narapidana memiliki keunikan dan kebutuhan yang berbeda-beda.

Perkembangan selanjutnya kembali muncul, yang agaknya sedikit menentang keberadaan aliran modern tersebut. Para penganut aliran pendukung free will kembali bersuara, lewat filsafat eksistensialisme, yaitu Albert Camus dan Jean-Paul Sartre, yang menamai diri sebagai penganut aliran neo-klasik Terdapat perbedaan mendasar antara pendapat yang disampaikan Albert Camus dengan Jean-Paul Sartre walaupun mereka sama-sama menganut aliran free will. Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa manusia memiliki kehendak bebas untuk melakukan segala tindakan, adanya pendapat yang menyatakan bahwa tindakan manusia didasarkan pada watak dan lingkungan adalah pelanggaran dari hakikat manusia yang memiliki free will tersebut, ia juga menentang adanya pidana, menurutnya pidana justru membuat manusia sendiri tidak bebas -membaca pendapat ini saya agak terkejut dan bersyukur, untungnya bukan ini yang berkembang. 

Pemikiran aliran neo-klasik yang berkembang sekarang dan masih sering dibahas dan diupayakan adalah pemikiran yang pertama kali dikembangkan oleh Albert Camus. Ia sepakat bahwa manusia memiliki kehendak bebas untuk bertindak apapun, namun manusia juga memiliki kemampuan untuk menyerap nilai-nilai baru, oleh karenanya manusia memiliki hak untuk mempelajari dan beradaptasi dengan nilai baru tersebut. Atas pendapatnya ini Camus menyatakan bahwa pidana tetap merupakan konsekuensi logis dari disalahgunakannya kebebasan yang dimiliki manusia, namun manusia tetaop berhak untuk mempelajari dan mengadaptasi nilai-nilai, sehingga menurutnya pidana itu harus bermuatan mendidik. Pemidanaan harus menyertakan human offender (manusia sebagai pelanggar kebebasan sehingga harus dikenakan sanksi) dan human power (manusia memiliki kekuatan untuk memahami nilai-nilai baru untuk memperbaiki diri). 

Paham terkahir ini lah yang melahirkan ide double track system dalam pemidanaan, yaitu menyeimbangkan fungsi pemidanaan dengan sanksi dan tindakan -perlakukan khusus sesuai latar belakang pelaku. Sistem ini dimuat dalam Rancangan KUHP yang sampai dengan saat ini masih terus dibahas Pemerintah-DPR, dan saya dukung dalam skripsi saya (yang belum selesai ini #lahbaper), dan ini adalah filsafat pemidanaan yang paling modern 

yang menyandingkan  free will dengan kemampuan manusia untuk menyerap nilai-nilai baru dalam masyarakat secara setara.

Pergeseran paradigma pemidanaan ini saya kaitkan dengan isu seksualitas yang mungkin belakang  ini sedang tenar (bukan berusaha tendensius, tapi dengan judul skripsi saya yang seperti itu, saya pun berkewajiban mengulas seksualitas dalam psikologi, khususnya sexual disorder --fyi, saya membahas tentang pedofilia)

Saya mendapati bahwa penentuan apa yang normal dan yang tidak normal dalam perilaku seksual adalah sesuatu yang bervariasi bergantung pada tempat dan waktu. Perubahan zaman mempangaruhi perilaku dan pengalaman seksualitas seseorang, salah satunya teknologi yang tidak dipungkiri telah melahirkan bentuk-bentuk seksualitas yang baru. Disamping pengaruh waktu dan tempat, tak bisa dipungkiri bahwa seksualitas sangat bergantung dengan budaya dan kepercayaan. Clearly we must keep varying cultural norms in mind as we study human sexual behavior -tanpa terjemahan bebas dari saya. 

Selanjunya the American Psychiatrist Association (APA) lewat DSM 5 menjelaskan bahwa adakalanya kecenderungan seksual dan sexual desire tertentu mengejutkan masyarakat, namun yang ditekankan oleh APA adalah when  our fantasies or desire begin to affect us or others in unwanted or harmful ways, they begin to qualify as abnormal. hal ini lah yang mungkin melatarbelakangi dihapuskannya hemoseksual sebagai salah satu gangguan seksual pada tahun 1973, karena homoseksual dilakukan atas dasar konsesualisme without any unwanted or harmful ways.

In 1973 under pressure from various group, the DSM category “homosexuality” as a sexual disorder was replaced by “sexual orientation disturbance”. The new diagnosis was to be applied to gay men and lesbians disturbed by, in conflict with or wish to change their sexual orientation.

Dari penjelasan ini saya berpendapat bahwa alasan penghapusan tersebut sangat erat kaitannya free will itu sendiri, yaitu kebebasan manusia untuk bertindak, termasuk untuk menjadi gay atau lesbian.

Namun, APA pun tetap memberikan ruang kepada para homoseksual untuk dapat menjalani terapi tertentu jika memang mereka mengalami distressed by the arousal and wishes to become heterosexual hal ini dinyatakan dalam DSM-IV-TR yang mengkategorikan homoseksual sebagai sexual disorder not otherwise specified yang merujuk pada persistent and marked distress about one’s sexual orientation, yang dapat terjadi apabila seseorang mengalami gangguan karena orientasi seksualnya. Hal ini lah yang menurut pandangan saya merupakan sisi dari kemampuan manusia menyerap nilai-nilai baru dalam masyarakat yang juga di-cover dalam ilmu psikologi sekalipun. Bagaimana pun, psikologi sendiri memberi ruang untuk manusia menilai sesuatu yang normal atau tidak berdasarkan budaya dan kepercayaanya.

Lantas apa yang kita harus lakukan?

Menjadikan para gay dan lesbian sebagai objek kekerasan adalah kebinatangan paling luar biasa, Tuhan manapun tidak akan pernah mengizinkan hamba-Nya untuk menjadi monster bagi manusia lainnya, saya jamin bahwa saya penentang nomor satu untuk orang yang melegalkan kepalannya untuk teman-teman gay dan lesbian. Maka sebaik-baiknya perkara adalah dengan menyelasaikannya dengan ahlinya.


"Yang membuat saya sekarang bingung, kok malah sekarang ribut sana sini, debat sana sini. Bukannya harusnya kita duduk bersama dengan mereka, sama-sama berpikir untuk mencari solusi, kalau seperti ini menimbulkan ketakutan, yang akan berdampak lebih buruk. Dok, I'm a gay and I'm so stressed, yang pertama saya lakukan adalah menghilangkan stresnya, setelahnya kita bisa bicarakan apa yang diinginkan dan yang terbaik untuk pasien" –Dr Suryo Dharmono, Sp.KJ(K), 25 Maret 2016.


Iya, mencari solusi dengan ahlinya, menyetarakan free will dan kemampuan manusia menyerap nilai-nilai baru dalam masyarakat. Itulah ciri masyarakat modern bukan? 




0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home