Menelisik "Indonesian Way" di RKUHP, Lagi.
Lagi-lagi saya menemukan hal janggal dalam RKUHP yang sekarang sedang dibahas dalam Panitia Kerja RKUHP di Komisi III RKUHP DPR RI yang esok 5 Maret 2018 akan diadakan masa sidang lanjutan sampai dengan 27 April 2018.
Setelah sekian banyak hal ngawur dalam RKUHP, boleh lah saya tambahkan alasan lainnya kenapa RKUHP tidak boleh disahkan dahulu.
RKUHP masih menyisakan kebingungan.
Dalam RKUHP Pasal 2 ayat (1) dimuat ketentuan mengenai "katanya" pengakuan terhadap praktik pidana adat di Indonesia, bunyi Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut:
Pasal 1
(1) Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana, dilarang digunakan analogi.
Pasal 2
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab. (Naskah 2 Februari 2018)
Terlepas dari kontroversi pasal ini, pasal ini membuat saya bingung. Prof Muladi selaku salah satu perumus RKUHP menyatakan bahwa ketentuan pasal ini ada kira-kira untuk menunjukkan "kekhasan" Indonesia.
Berikut yang beliau katakan:
"Dan juga saya ingatkan tentang living law maaf berkali kali saya katakan dan diwanti-wanti oleh para pendahulu kita bahwa ini jangan sampai lepas. Karena ini karakter dalam hukum pidana nasional yang terhormat dan pernah diatur dalam undang-undang no 1 Drt tahun 51. Jadi ini suatu hal yang penting, ini merupakan sebuah peralihan yang penting..."
(dapat diakses melalui http://reformasikuhp.org/laporan-singkat-rapat-panja-komisi-iii-dpr-ri-dengan-pemerintah-dalam-rangka-pembahasan-r-kuhp/)
Ketika saya telusuri, UU Darurat Republik Indonesia No 1 tahun 1951 memang pada Pasal 2 huruf b memuat tentang penghapusan secara berangsur-angsur pengadilan adat yang ada, namun begitu Pasal 5 UU tersebut tetap mengakui adanya penyelesaian sengketa melalui adat, jika hukuman yang diputuskan dalam pengadila adat tersebut tidak dilaksanakan, maka terhadap pelaku dapat diancam dengan pidana tidak lebih dari 3 bulan penjara, namun hal ini hanya untuk ketentuan pidana yang perbuatannya tidak ada dalam KUHP.
Lantas bagaimana dengan Pasal 2 ayat (1) di RKUHP? apa benar itu menjawab hal yang diamanatkan UU No 1 tahun 1951 yang disebutkan Prof Muladi tersebut?
Kiranya UU No 1 tahun 1951 hanya mengamanatkan pengakuan penyelesaian sengketa oleh adat untuk tindak pidana yang tidak ada padanannya dalam KUHP, dan boleh diselesaikan melalui peradilan pidana tapi hanya untuk hukuman maksimal 3 bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, itu pun dapat dilaksanakan manakala yang terhukum sebelumnya tidak menjalankan hukuman yang diperintahkan oleh adat, bukan mengamanatkan untuk mendefinisikan dan mengatur ulang perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana berdasarkan hukum yang hidup di dalam masyarakat dan kemudian menjadikannya ketentuan pidana baru, bukan demikian.
Bicara soal alasan lain tentang masuknya Pasal 2 ayat (1) RKUHP ini, kita dapat melihat penjelasan RKUHP di pasal tersebut.
Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini. (Penjelasan RKUHP, 2015)
Bicara tentang keberlakuan suatu hukum, maka kita tidak akan terlepas dari proses pelaksanaan hukum tersebut, tentang pengakuan berlakunya hukum pidana adat, maka tidak terlapas dari perbincangan mengenai keberlakukan proses peradilan pidana adat. Apa iya hal itu belum diakui?
Nampaknya tidak, Pasal 76 KUHP yang "katanya" kolonial justru mengakui penyelesaian sengketa di luar pengadilan lewat pengadilan adat dengan memuat ketentuan berikut:
Pasal 76
(1) Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat,
di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut.
(2) Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap
orang itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan
dalam hal:
1. putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;
2. putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi hukum pidana adat, maka erat kaitanya dengan proses penyelesaian sengketa adat
Jika kita lihat, ketentuan tersebut selaras dengan UU Darurat Republik Indonesia No 1 tahun 1951, yang mengakui penyelesaian sengketa diluar peradilan "negara", penyelesaian sengketa oleh negara setelah adanya putusan pengadilan adat menurut pasal ini termasuk pelanggaran asas ne bis in idem.
Maka kita dapat lihat apakah ketentuan ini di RKUHP -yang "katanya" adalah upaya dekolonialisasi pemerintah dan DPR untuk reformasi hukum pidana Indonesia- memuat hal ini?
Pada naskah 2015, di ketentuan mengenai gugurnya hak memenuntut dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 152
Kewenangan penuntutan gugur, jika:
a. telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap; b. terdakwa meninggal dunia;
c. kedaluwarsa;
d. telah ada penyelesaian di luar proses peradilan pidana;
e. maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II;
f. maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III;
g. Presiden memberi amnesti atau abolisi;
h. penuntutan diserahkan kepada negara lain;
Ketentuan Pasal 152 RKUHP versi draft Februari 2017 ini dapat dikatakan sebagai pengakuan adanya proses penyelesaian sengketa di luar proses peradilan pidana, dalam Naskah Akademik RKUHP 2015 halaman 258 dimuat hal berikut
Jadi, jika suatu perkara pelanggaran hukum pidana adat sudah diselesaikan melalui lembaga adat dan telah dilaksanakan, tidak dapat diajukan lagi ke pengadilan dengan alasan hukum Pasal 76 KUHP, yaitu ne bis in idem.
Maka dapat dikatakan bahwa adanya Pasal 152 huruf d merupakan jaminan diakuinya penyelesaian sengketa di luar proses peradilan pidana, salah satunya peradilan adat.
Lantas apa perlunya lagi merumuskan Pasal 2 ayat (1)?
Filosofi diakuinya proses pernyelesaian sengketa di luar peradilan pidana adalah untuk memenuhi rasa keadilan di masyarakat, karena proses penyelesaian sengketa tersebut bersifat komunal dan diselenggarakan oleh organ-organ yang berasal dari masyarakat itu sendiri, ibaratnya dari kita dan untuk kita sendiri. Namun, jika tindak pidana adat yang berasal dari masyarakat adat itu sendiri diformalkan dalam ketentuan RKUHP dan menjadi tindak pidana dalam KUHP, maka penyelesaiannya akan diserahkan kepada peradilan pidana itu kembali, lantas kemana sifat komunalnya? apa iya tujuan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat akan terpenuhi jika penyelesaian sengketa justru dilaksanakan organ negara yang bukan bagian dari masyarakat tersebut?
Yang lebih memprihatinkan lagi, bahwa ketentuan Pasal 152 RKUHP versi Februari 2017 tersebut telah banyak berubah dalam draft terakhir versi 2 Februari 2018, bunyi pasal tersebut menjadi:
Pasal 144
(1) Kewenangan penuntutan dinyatakan gugur jika:
a. telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap atas perkara yang sama;
b. terdakwa meninggal dunia;
c. kedaluwarsa;
d. telah ada diversi terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh Anak;
e. maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana dendapaling banyak kategori II;
f. maksimum pidana denda Kategori III dibayar dengan sukarela bagi Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun;
g. Presiden memberi amnesti atau abolisi;
h. penuntutan diserahkan kepada negara lain;
i. tidak adanya pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali untuk Tindak Pidana pengaduan; atau
j. ada pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung.
Ketentuan mengenai diakuinya penyelesaian sengketa di luar proses peradilan pidana dihapuskan, belum diketahui alasan penghapusan hal tesebut karena draft dan naskah akademik pada masa pembahasan tidak pernah dikeluarkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengakuan penyelesaian sengketa melalui adat pun tidak diatur lagi.
Apakah akan diserahkan sepenuhnya pada ketentuan Pasal 2 ayat (1)? Yang justru bertentangan dengan amanat UU Darurat RI No 1 tahun 1951, dan tidak juga memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk menyelesaikan sengketanya sendiri? "Indonesian Way" kah?
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home