Wednesday, May 4, 2016

Saya, Menanggapi Isu Hari Ini

Baru saja saya men-twit kalimat "memasuki waktu Indonesia bagian kriminalitas memuncak, teror everywhere", iya, menurut saya minggu ini adalah minggu kelabu bagi kriminalitas di Indonesia, (yang hanya saya dasarkan dari paparan media, semoga faktanya tidak lebih mengerikan) mulai dari kasus mahasiswa bunuh dosen di Medan, mahasiswa UGM yang ditemukan tewas di toilet kampus, Yn yang diperkosa oleh 14 pemuda di Bengkulu hingga teror sayat tangan secara random di jalan protokol Jogjakarta. Wow, hal ini membuat saya takut berpergian. 

Dari sekian jenis kasus diatas, nampaknya yang cukup menarik perhatian saya adalah kasus Yn, bagaimana tidak, fakta yang dibeberkan oleh media sungguh menyayat nurani, membuat saya tak habis pikir, apakah masih ada ruh dalam diri pelaku-pelaku tersebut?

Kasus Yn pun kembali menengahkan isu dan propaganda mengenai stop ketimpangan gender dan stigmatitasi perempuan, propaganda yang bertujuan menghapuskan segala bentuk ketimpangan gender dalam masyarakat patriaki yang menjadikan wanita sebagai objek stigamtitasi. well, pendeknya menyalahkan perempuan jika terjadi pemerkosaan. 

Sebelumnya saya akui bahwa saya pribadi yang memiliki 3/4 pemikiran  bahwa ada kalanya perempuan mengambil peran 'untuk diperkosa' melalui penampilan dan gaya berpakaian mereka, sampai akhirnya saya mendapati pengalaman pribadi saya bahwa the way you dress up has nothing to do with rapes or any sexual harassment  

Saya tinggal di pinggiran kota Jakarta, daerah rumah saya bisa dibilang daerah kampung, dengan tingkat pendidikan penduduk rata-rata lulusan SMA kebawah, walaupun begitu saya menghormati tetangga-tetangga saya, karena mereka pribadi yang ramah dan menjaga tata krama serta etika. 

Sekitar 4 bulan yang lalu sebuah rumah di dekat rumah saya dijual, kemudian dibangun beberapa rumah kecil di dalamnya. Pembangunan tersebut dilakukan oleh sekelompok pemuda kuli bangunan, dari sini lah pengalaman menjengkalkan saya muncul. 

Setiap harinya semenjak pembangunan rumah tersebut , saya harus mendapati diri saya dilecehkan secara verbal oleh pemuda kuli bangunan, mulai dari siulan, percakapan antar pemuda tersebut yang menyatakan diantara mereka ada yang ingin berkenalan dengan saya, hingga perkataan yang mengomentari ekspresi saya.  Padahal saya tak pernah berpakaian tidak sopan. Setiap hari saya kuliah dengan setelan baju serta rok panjang, jilbab saya pun menjuntai hingga pinggang saya, saya tidak pernah make-up ke kampus, lipstick saya pun selalu nude. dan saya juga pribadi yang kalau berjalan kaki lebih sering menunduk terlebih kalau berpapasan dengan laki-laki. 

Saya merasa sangat kesal dan marah dengan kejadian itu, jalan di depan rumah tersebut adalah jalan yang sudah belasan tahun saya lalui, sebelumnya saya tidak pernah merasa tidak nyaman lewat situ, mengapa mereka yang sebagai tamu lantas membuat saya sebagai tuan rumah tidak nyaman? satu dua kali masih saya abaikan, saya masih berpikiran mungkin mereka akan bosan. Sampai pada puncaknya, saya benar-benar kesal. Waktu itu sekitar sore hari (para kuli bagunan sudah selesai bekerja), saya hendak keluar rumah, tanpa sadar saya melakukan aktivitas yang selalu saya lakukan ketika keluar rumah, yaitu bercermin pada jendela di bagian samping rumah saya, para kuli bagunan tersebut bisa melihat saya dengan jelas (saya tidak menyadari mereka sedang melihat saya), saya mencoba merapihkan baju dan jilbab saya, kemudian para kuli bangunan tersebut bersorak beramai-ramai melecehkan saya sambil tertawa-tawa, saya kesal bukan main, saya masuk ke dalam rumah, sambil marah-marah. Saya mengeluarkan seluruh umpatan kurang sopan saya di dalam rumah dan saya berkata kepada Mama bahwa saya akan berbicara langsung kepada para kuli bangunan itu (saya ingat highlight umpatan saya saat itu adalah "bego, kayak ngga sekolah lo, tau ga" ) mendengar hal tersebut Mama lantas melarang saya, Mama mengingatkan tidak enak dengan tetangga dan biarin aja mereka kan emang ga ngerti. Lalu saya tersadar bahwa umpatan saya mungkin merupakan sebuah fakta bahwa mereka memang tidak mengerti bagaimana cara memperlakukan orang, karena mungkin mereka tidak mendapatkan pendidikan tentang hal itu dengan baik. 

Akhinya Papa saya yang kemudian berbicara dengan salah satu dari mereka, Papa saya mencoba mengeneralkan tindakan mereka dengan merujuk pada semua orang yang lewat (bukan hanya saya, untuk menghindari keributan), bahwa bagaimana pun hal itu membuat tidak nyaman, dan seharusnya mereka bisa menghormati setiap orang yang lewat, ya intinya Papa saya sudah menegur mereka. Tapi setelahnya? 

Sampai detik ini setiap pagi ketika berangkat kuliah saya masih harus mendapati mereka saling berbincang tetawa-tawa setiap saya lewat. Saya berpikiran bahwa mereka sudah mengenali saya sebagai tukang ngadu Papa. Rasanya ingin sekali untuk berbicara langsung kepada mereka mengumpat segala jenis perkataan bodoh kepada mereka, sebegitunyakah mereka tidak bisa menghargai orang lain??? tapi saya selalu berusaha mengingat pesan Mama untuk menahan diri agar saya tidak melakukan yang tidak-tidak. Yang saya lakukan sekarang adalah terus berdoa agar pembangunan rumah tersebut cepat selesai dan saya dapat kembali melewati jalan yang sudah belasan tahun saya lewati dengan nyaman.

Well, perlu saya tekankan  disini bahwa upaya untuk mengedukasi orang-orang dengan kelakuan tersebut sudah dilakukan, tapi ya memang mereka kurang paham atau emang dableg sehigga sulit sekali untuk diberi nasihat. Atau apakah memang harus dilakukan dengan pendekatan represif? mungkin kalau faktanya begini harus dicoba, tapi kembali lagi, pendekatan represif tak bisa dilakukan secara main hakim oleh masyarakat sendiri, perlu ada payung hukum dan regulasi yang mengaturnya. 

Pendidikan tentang relasi gender itu penting untuk disebarluaskan, bahwa setiap orang (baik laki-laki atau perempuan) tetap harus menjaga kelakukannya dalam berinteraksi dengan orang lain. Dalam hadist Rasul riwayat at-tirmidzi pun disebutkan bahwa "Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang Mukmin pada Hari Kiamat nanti selain akhlak mulia” Allah dan Rasulnya tidak pernah bilang bahwa yang harus menjaga kelakukan adalah perempuan saja, ataupun laki-laki saja, setiap mukmin lah yang harus menjaga akhlaknya. Jadi… yang masih bilang perempuan saja yang harus menjaga diri dalam berkelakuan mending cermati dulu deh hakikat Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan.

Tetapi mau bagaimana pun juga, salama pendekatan represif tersebut belum ada, orang-orang dableg seperti yang saya jelaskan diatas masih mungkin ada di muka bumi ini. Pemikiran dan tindakan kurang sopan mereka masih mungkin ada di sekitar kita, untuk itu menurut saya pribadi kita sebagai perempuan memang harus bisa memilah-milih dalam melakukan sesuatu, kita bisa kok menilai orang-orang di sekitar kita seperti apa, dari situ kita sebagai perempuan bisa menentukan apakah suatu hal harus dilakukan atau tidak, toh implikasinya juga akan bermanfaat buat kita.

Menurut saya pribadi generasi orang-orang dableg seperti itu tidak bisa dipungkiri masih ada akibat sisa-sisa pendidikan masa lalu, semoga aja pendidikan saat ini InsyaAllah mampu melahirkan generasi-generasi baru yang bisa menghargai dan menghormati sesama, yang tidak memandang kewajiban berbuat baik didasarkan pada gender.


Sembalin nunggu regulasinya dibuat untuk lebih melindungi perempuan, kita harus terus berusaha mengedukasi sekitar kita bahwa berbuat baik adalah kewajiban setiap orang (bukan perempuan atau lak-laki), sambil doain juga generasi dableg itu cepet lenyap, kalaupun ngga, semoga mereka tersadarkan untuk bertindak layaknya manusia, kalau tidak sadar juga, doain aja agar pemikiran dableg mereka tidak diteruskan ke generasi setelahnya.   

Aaamin^^

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home