Mekanisme Pengawasan: Praperadilan vs. Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Adanya pengaturan hukum acara
pidana yang diatur dalam undang-undang merupakan jaminan terlaksananya
peradilan pidana yang bertujuan mencari keberanan materil dan pemenuhan terjaminnya
perlindungan hak asasi manusia walaupun tersangka, terdakwa maupun terpidana
sedang dalam sistem peradilan pidana yang berhadapan dengan negara. Salah satu
aspek penting dalam hukum acara pidana adalah adanya mekanisme pengawasan pelaksanaan
sistem peradilan pidana khususnya pengawasan aparat penegak hukum pada saat
menjalankan wewenangnya dalam sistem peradilan pidana
Dalam KUHAP yang sekarang
berlaku, tidak ada mekanisme khusus yang mengatur tentang sah atau tidaknya
proses penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh aparat penegak hukum. Mekanisme pengawasan tersebut hanya diakomodir
secara pasif dengan adanya lembaga praperadilan melalui pengajuan permohonan
apabila terjadi pelanggaran atau upaya paksa dilakukan secara tidak sah.
Praperadilan bertujuan untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya
suatu penangkapan dan/atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan, permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh
tersangka[1]
termasuk juga kewenangan lain yang diperluas dengan Putusan MK No
21/PUU-XII/2014 yaitu pemeriksaan terhadap penetapan sah/tidaknya penetapan
tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
Namun dalam perkembangannya,
mekanisme praperadilan yang dilaksanakan dengan konsep seperti hukum acara
perdata (mengajukan gugatan, hakim pasif) dinilai tidak efektif dalam
memberikan ruang perlindungan bagi tersangka dan terdakwa untuk mencari
keadilan atas upaya paksa yang dialaminya. Terdapat beberapa kelemahan dalam
lembaga praperadilan tersebut, salah satu studi BPHN tahun 2007 menyimpulkan
bahwa banyak celah hukum di dalam ketentuan KUHAP yang mana praktiknya sangat
bergantung pada diskresi aparat penegak hukum, praperadilan dinilai baru dapat
berfungsi ketika pelanggaran atas pelaksanaan upaya paksa telah terjadi (post
factum), sehingga lebih bersifat represif daripada preventif[2]. Praperdilan yang dibatasi oleh waktu sebelum
masuk ke dalam pemeriksaan perkara juga berdampak tidak efektifnya lembaga ini.
Berdasarkan hasil riset ICJR, dari 80 putusan praperadilan yang diteliti, hanya
2 permohonan yang dikabulkan oleh hakim, sisanya ditolak dan sebagian gugur
berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP[3][4]. Dalam
pemeriksaan praperadilan pun hakim cenderung hanya memeriksa prosedur adminsitrasi,
seperti kelengkapan surat, bukan memeriksa dengan seksama syarat yang diuji
dalam praperadilan tersebut, misalnya telah dilaksanakan atau/tidak nya syarat
subjektif dan syarat objektif dilakukannya penahanan dalam Pasal 21 ayat (1)
dan (4) KUHAP[5].
Beban pembuktian dalam lembaga praperadilan pun menjadi persoalan, karena
dilaksanakan dengan konsep mengajukan gugatan, maka yang mendalilkan harus
membuktikan, dalam hal ini tersangka, sehingga menjadi sulit bagi pencari
keadilan untuk membuktikan hal tersebut padahal syarat upaya paksa dapat
dilakukan sangat bergantung dengan subjektivitas aparat penegak hukum yang
bertindak sebagai termohon praperadilan[6].
Sebagai upaya untuk mengatasi
ketidakefektifan lembaga praperadilan tersebut, hadirlah konsep hakim pemeriksa
pendahuluan yang diinisiasi oleh perumus Rancangan KUHAP tahun 2012. Konsep ini
merupakan perubahan penting dalam rancangan KUHAP[7]
dengan memberikan solusi atas lembaga praperadilan yang bersifat pasif dan
tidak mandiri. Hakim Pemeriksa Pendahuluan merupakan lembaga yang tidak terikat
dalam pengadilan negeri. Kewenangan yang diberikan kepada hakim pemeriksa
pendahuluan pun diperluas, tidak hanya terkait dengan upaya paksa yang dibatasi
oleh Pasal 77 KUHAP, namun juga didalamnya ada kewenangan lainnya. Sifat
pengawasan yang dilakukan hakim pemeriksaan pendahuluan pun juga tidak hanya
berdasarkan ada/tidaknya pengaduan atau gugatan yang diajukan oleh pemohon,
hakim pemeriksa pendahuluan dapat melakukan pengawasan terhadap upaya paksa
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atas inisiatifnya sendiri dengan mekanisme
pengajuan izin, penetapan dan putusan penilaian terhadap upaya paksa yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Berikut tabel perbedaan konsep
Praperadilan dalam KUHAP dengan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam Rancangan
KUHAP 2012
No.
|
Aspek Perbedaan
|
KUHAP
|
Racangan KUHAP
|
1.
|
Nama Lembaga
|
Praperadilan[8]
|
Hakim Pemeriksa Pendahuluan[9]
|
2.
|
Kewenangan
|
Sah/tidak nya
·
Penangkapan
·
Penahanan
·
Penghentian penyidikan
·
Penghentian penuntutan
·
Ganti kerugian atau rehabilitasi bagi
seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau
penuntutan
·
Penetapan tersangka[10]
|
Mengeluarkan izin:
- surat izin penggeledahan dan
menerima laporannya[11]
- surat izin penyitaan dan
menerima laporannya[12]
- pembedahan mayat[13]
- surat izin penyadapan[14]
- surat perintah penahanan
- surat permohonan perpanjangan
penahanan[15]
- surat izin khusus penyitaan
surat atau tulisan lain yang wajib dirahasiakan[16]
- Menangguhkan
penahanan[17]
- Mencabut
penangguhan penahanan[18]
- Mengetahui
penggeledahan rumah[19]
- Memberikan
izin pemusnahan barang siataan[20]
- Menolak
permohonan penyadapan[21]
- Menerima
laporan pelaksanaan penyadapan[22]
Menetapkan atau memutus:
- sah/tidak penahanan[23]
- sah/tidak penangkapan
- sah/tidak penggeledahan
- sah/tidak penyitaan
- sah/tidak penyadapan
- bahwa keterangan tersangka
atau terdakwa melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri
- alat bukti atau pernyataan
yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti
- ganti kerugian dan/atau
rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah
atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah
- tersangka atau terdakwa
berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh pengacara
- bahwa penyidikan atau
penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah
- penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas
- layak atau tidaknya suatu
perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan
- pelanggaran terhadap hak
tersangka apapun yang lain yang terjadi selama penyidikan[24]
|
3.
|
Yang Memeriksa
|
Hakim tunggal yang ditunjuk
oleh ketua Pengadilan Negeri
|
Hakim mandiri tidak masuk ke
dalam skeman Pengadilan Negeri
|
4.
|
Yang mengajukan permohonan
|
Tersangka, keluarga atau
kuasanya untuk penangkapan dan penahanan[25]
Penuntut Umum atau pihak ketiga
yang berkepentingan untuk sah/tidaknya suatu penghentian penyidikan atau
penuntutan[26]
Tersangka atau pihak ketiga
yang berkepentingan untuk permintaan ganti rugi[27]
|
|
5.
|
Lamanya pemeriksaan
|
Cara cepat selambat-lambatnya 7
hari[28]
dengan konsekuensi gugatan gugur apabila pemeriksaan di pengadilan negeri
sudah dilakukan
|
2 hari[29]
permohonan tidak menunda
penyidikan[30]
tidak ada aturan tentang
gugurnya permohonan, kecuali untuk permohonan ganti kerugian atau
rehabilitas, permohonan harus diajukan pada saat perkara belum diperiksa oleh
pengadilan negeri[31]
|
6.
|
Upaya Hukum
|
Tidak dapat diajukan upaya
hukum[32]
|
Tidak dapat diajukan upaya
hukum banding dan kasasi[33]
|
Secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan konsep praperadilan dengan hakim pemeriksa
pendahuluan. Praperadilan yang masuk dalam aturan KUHAP merupakan inisiasi dari
kalangan masyarakat LBH/YLBHI yang bernama Komite Aksi Pembela Pancasila dalam
KUHAP sebagai tanggapan RUU yang sebelumnya pada tahun 1979, pada masa
pembahasan KUHAP[34].
Praperadilan hadir terinsipirasi konsep habeas corpus dalam sistem peradilan
anglo saxon, yang memberikan hak kepada orang yang ditahan untuk menuntut
aparat penegak hukum dalam hal ini polisi dan jaksa untuk membuktikan bahwa
penahanannya sah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan
konsep yang dihadirkan oleh Rancangan KUHAP dalam konsep hakim pemeriksa
pendahuluan sifanya adalah pengawasan secara terus menurus terhadap aparat
penegak hukum dalam melaksanakan wewenangnya.
Kewenangan hakim periksa
pendahuluan jelas lebih luas dibandingkan dengan konsep praperadilan[35].
Adanya hakim periksa pendahuluan yang bersifat mandiri, terlepas dari beban
penyidikan dan diluar bagian dari pemeriksaan perkara dapat menjamin
transparansi pemeriksaan yang dilakukannya. Namun begitu terdapat beberapa
kelemahan yang juga ditemui jika dibandingkan dengan konsep praperadilan.
- Walaupun
memperbolehkan hakim pemeriksa pendahuluan untuk memanggil tersangka atau pihak
lain yang relevan dalam pemeriksaan pendahuluan, namun beban waktu pemeriksaan
perkara yang hanya 2 hari berimplikasi pada kemungkinan lahirnya praktik
pemeriksaan yang hanya bersifat prosedural dengan batas waktu yang sangat
sempit, padahal dalam konsep hakim periksa pendahuluan sifat pemeriksaan adalah
terkait dengan aspek materiil dilakukannya upaya paksa, karena sedari awal
aspek formil telah dilakukan pemeriksaannya oleh hakim pemeriksa pendahuluan,
sehingga jika menggunakan mekanisme permohonan, maka yang diperiksa lanjutan
adalah aspek materil. Jangka waktu pemeriksaan yang hanya diatur dalam waktu 2
hari dalam Pasal 112 ayat (2) dapat berimplikasi pada tidak terlaksananya
tujuan awal pembentukan hakim pemeriksaan pendahuluan untuk mengatasi praktik
praperadilan yang hanya berfokus pada aspek formil saja, terlebih lagi objek
pemeriksaan hakim pemeriksa pendahuluan jelas jauh lebih banyak dari
praperadilan, sehingga pengaturan tersebut menjadi dapat dipertanyakan efektivitasnya.
- Pemeriksaan
yang dillakukan oleh HPP pun cenderung tertutup karena sifatnya berdasarkan
inisiatif sendiri, hal ini rentan disalahgunakan karena adanya pemeriksaan ini
dalam rangka melindungi tersangka, terdakwa, sehingga diperlukan mekanisme
transparansi yang jelas. Pengaturan dalam RKUHAP harus menghadirkan konsep
hukum acara yang jelas mengenai kewenangan hakim pemeriksa pendahuluan dalam
hal dapat memeriksa dengan inisiatif sendiri karena besarnya kewenangan yang
dimiliki olehnya.
- Dalam
RKUHAP dijelaskan dalam pasal 117 ayat (2) dijelaskan bahwa terhadap HPP dapat
dilakukan pengawasan dengan mekanisme Tim Pengawasan sebagai pengawasan di
Pengadilan Tinggi, dalam penjelasan RKUHAP tersebut tidak dijelaskan bagaimana
mekanisme pengawasan tersebut, padahal seperti yang telah dikemukakan diatas,
bahwa kewenangan yang diberikan dalam RKUHAP sangat besar, semua kewenangan
tersebut pun terkait dengan pemberian upaya paksa terhadap tersangka, terdakwa
yang mana berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, sehingga menjadi penting untuk
mengatur mekanisme pengaduan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Pemeriksa
Pendahuluan, terlebih lagi dalam mekanisme hukum acara hakim pemeriksa
pendahuluan tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. Perlu dicermati kembali
apa alasan pengaturan sifat final putusan hakim pemeriksa pendahuluan, padahal
dalam rancangan KUHAP konsep pra-peradilan yang akan gugur ketika persidangan
pokok perkara telah dimulai yang diatur di dalam KUHAP tidak diakomodir lagi
dalam RKUHAP, lantas menjadi dipertanyakan mengapa konsep tersebut dihapuskan
namun ruang upaya hukum atas putusan hakim pemeriksa pendahuluan tidak tersedia.
[1] Pasal 77 UU 8 tahun 1981 tetanng Hukum Acara Pidana
[2] BPHN, Penelitian
Hukum tentang Perbandingan antara Penyelesaian Putusan Praperadilan dengan
Kehadiran Hakim Komisaris dalam Peradilan Pidana, dalam Prospek Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam
Pengawasan Penahanan dalam Rancangan KUHAP”, Supriyadi Widodo Eddyono dan
Erasmus Napitupulu, (Jakarta: 2014), hal. 5
[3] gugutan praperadilan gugur apabila perkara sudah mulai
diperiksa oleh pengadilan negeri “dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa
oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada
praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur”
[4] lihat Praperadilan:
Barang Usang yang Harus Ditinggalkan, Apapun Taruhannya!,
http://icjr.or.id/praperadilan-barang-usang-yang-harus-ditinggalkan-apapun-taruhannya/,
[5] lihat Institusi Praperadilan Sudah Layak
Dimusiumkan, http://icjr.or.id/institusi-praperadilan-sudah-layak-dimusiumkan/
[6] sebagai contoh, Pasal 21 ayat (1) KUHAP mengatur dapat
tidaknya penahanana dilakukan, penahanan dapat dilakukan terhadap tersangka atau
terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang
cukup. Kata “diduga” ini sangat bergantung dengan subjektivitas aparat penegak
hukum
[7] Naskah Akademik Rancangan Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana tahun 2012, hal. 6
[8] wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang: sah/tidaknya
penangkapan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasa tersangka; sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
permintaan ganti kerugoan atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atas kuasannya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan,
Pasal 1 butir 10 KUHAP
[9] Pejabatyang diberi wewenang menilai jalannya
penyidikan dan penuntutan dan wewenang lain yang ditentukan dalam UU ini, Pasal
1 butir 7 Rancangan KUHAP 2012
[10] berdasarkan putusan MK Putusan MK No 21/PUU-XII/2014
[11] Pasal 29 ayat (1) jo ayat (3), jo Pasal 69 jo Pasal 70
RKUHAP
[12] Pasal 32 ayat (1) jo ayat (3) jo Pasal 75 RKUHAP
[13] Pasal 38 ayat (4) RKUHAP
[14] Pasal 83 ayat (3) RKUHAP
[15] Pasal 60 ayat (3) jo Pasal 88 ayat (4) RKUHAP
[16] Pasal 79 RKUHAP
[17] Pasal 67 ayat (1) bersama dengan Hakim Pengadilan
Negeri jo Pasal 111 ayat (1) huruf b RKUHP
[18] Pasal 67 ayat (2) jo Pasal 111 ayat (1) huruf b
[19] Pasal 72 ayat (1) RKUHAP
[20] Pasal 81 ayat (2) RKUHAP
[21] Pasal 83 ayat (7) RKUHAP
[22] Pasal 83 ayat (8) RKUHAP
[23] Pasal 65 ayat (1) jo Pasal 111 ayat (1) huruf 1 a RKUHAP
[24] Pasal 111 RKUHAP
[25] Pasal 79 KUHAP
[26] Pasal 80
[27] Pasal 81
[28] Pasal 82 ayat (1) huruf c
[29] Pasal 112 ayat (2)
[30] Pasal 112 ayat (5)
[31] Pasal 114 ayat (2)
[32] Pasal 83 jo Putusan MK
[33] Pasal 122 RKUHAP
[34] BPHN, Hakim
Komisaris dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (BPHN: 2011), hal. 11
[35] penulis membaginya ke dalam 3 peran besar, 1. Peran
mengeluarkan izin, 2. Melalukan tindakan tertentu dan 3. Menetapkan atau
memutus.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home