Sabit
Sms pada smartphoneku kali ini begitu membuat senyum ini tak bisa dielakkan. Padahal tak ada yang dengan hati menuliskan pesan tersebut kepadaku, mesin komputerlah yang menuliskan pesan tersebut, diawali dengan kata [KREDIT], siapa yang tak bahagia karenanya. Aku akui aku tak pernah bisa tak bahagia menjalani momen ini walaupun sudah 6 kali aku merasakannya, 1 kali tiap bulannya.
Namun, perlu aku nyatakan bahwa sms komputer tersebut kali ini sedikit berbeda dari sms-sms pada bulan lainnya. Sms komputer bulan ini berhasil menghapus sedikit luka ku kemarin akibat ditinggalkan yang paling setia. Honda Tiger 2009 ku lah yang paling setia. Kebersamaanku dengannya ternyata harus diakhiri di tahun kelima perjalanan kami. Memang manusia paling murka di muka bumi yang begitu saja merampasmu di tengah hari jumat minggu lalu itu. Aku tak kuasa begitu saja mengganti dirinya yang paling setia tersebut, karena hati ini sudah terlanjur sayang dan dompet ini sudah kepalang melayang untuk sebidang bangunan di pinggir kota Depok. Iya, Aku belum bisa membeli kendaraan baru lantaran mengejar targetku untuk membeli istana kecilku di masa depan.
Yang aku dirindukan adalah momen ini, dimana akhirnya aku kembali pulang ke Tanjung Barat tempat tinggalku setelah selama tiga hari penuh aku bermalam di tempatku bekerja menundukkan kepalaku di depan layar komputer kubikelku merajut kata esok hari untuk kuajukan kepada pimpinan redaksi. Aku terbiasa melewati momen ini, terlebih momen pasca sms yang aku ceritakan tadi terjadi bersamanya yang paling setia itu.
Aku dan dirinya yang paling setia tersebut sebagai 2 makhluk penakluk malam menelusuri masih padatnya jalanan ibukota kendati hari sudah mulai larut. Aku terbiasa mengajak dirinya yang paling setia tersebut untuk menatap indahnya langit malam di tengah kerisauan hati menanti lampu lalu lintas berganti warna. Aku memberi tahu dirinya yang paling setia tersebut tentang suatu keindahan di langit yang tak pernah lupa untuk aku tatap, Sabit namanya. Kujelaskan padanya yang paling setia tersebut bahwa Sabit adalah paripurna keindahan yang dengan penuh cinta Tuhan ciptakan, sehingga tak pernah sekali pun Sabit tak menebar kesejukan untuk penatapnya.
Tapi, sekarang tak ada yang menemaniku menatap Sabit, tak ada yang akan mendengar jutaan pujaanku untuk Sabit, karena dirinya yang paling setia tersebut telah pergi. Aku mengikhlaskannya.
Tapi, begitu aku melangkahkan kaki keluar kantorku kucari dirimu, Sabit, tak kudapati dirimu. Teman-teman mu lainnya pun tak kulihat. Aku mulai risau, mulai berpikir bahwa guyuram air dari langit akan segera tiba. Sabit, dimana engkau?
Benarlah 10 menit mencari keberadaan Sabit, guyuran hujan mulai membasahiku, aku kemudian bergegas menyetop angkutan kota ke arah Stasiun Tebet. Di dalam angukutan kota tersebut aku terus mencari keberadaan Sabit melalui kaca namun malah gemuruh petir yang kudapati. Mungkin malam ini Sabit sedikit lelah untuk berbagi sejuk. Biarlah, sekarang saatnya aku berfokus menatap lawan bicaraku di sebalah kananku, supir angkutan kota No 44 jurusan Karet-Kampung Melayu.
"Stasiuuun, stasiuuuun."ucap supir angkutan yang kunaiki beberapa menit kemudian.
Aku bergegas untuk membuka pintu angkutan yang berada di sebelah kiriku.
"Ini, Pak, Kuningan ya."sahutku seraya menyodorkan 2 lembar uang 2 ribu rupiah kepada lawan bicaraku tadi yang belakangan kuketahui bernama Bapak Ahmad.
Aku berlari sekuat tenaga tanpa sempat mencari si indah Sabit kembali, karena hujan akan semakin menghajarku jika aku tak bergegas.
Tibalah aku di tepian peron menanti Commuter Line yang hendak aku tumpangi. Saat menunggu tersebut pun aku masih sesekali mencari keberadaan Sabit, karena memang saat itu hujan mulai berangsur menarik diri. Tapi Sabit belum juga nampak, hingga akhirnya aku melangkah memasuki gerbong ke-5 kereta yang kutumpangi.
***
Menurutku Sabit selain merupakan paripurna keindahan yang menebar cinta, ia juga merupakan lambang kesederhanaan yang memancarkan kesejukan. Sabit tak perlu begitu menunjukkan dirinya, tak perlu memperlihatkan semua yang ia miliki, untuk memberikan ketenangan. Sabit juga tak pernah membanggakan diri dengan keseluruhan dirinya menarik riak air di seluruh penjuru dunia agar khalayak ramai membicarakannya. Harmoni keindahan, kesederhanaan, dan kesejukan itulah yang membuatku tak berhenti memuja sabit.
***
Aku pun tertidur kelelahan setelah satu stasiun kulewati. Aku kemudian terbangun di Stasiun ke-5 ku dimana di stasiun berikutnyalah aku harus turun. Seketika terbangun, aku menyadarkan kembali diriku, memperbaiki posisi dudukku dan menyeka ciplakan telapak tanganku dipipi kiriku.
5 menit berselang, tibalah aku harus bangun dari tempat dudukku keluar melalui pintu kanan kereta.
Tepat di depan pintu yang tengah terbuka, aku terkejut, jantung dan aliran darahku serasa berhenti sejenak berganti dengan angin sejuk yang kurasa menyelimuti permukaan kulitku.
Sabit nyata.
Aku menatap Sabit nyata di hadapanku.
Mata indah, dagu yang begitu tegas dan suara lembut penuh kesederhanaan.
"Permisi, mas."
Sabitku seketika berlalu dengan sejuknya yang masih tertinggal di dada ini.
Kereta kemudian kembali berjalan.
Menanti harmoni keindahan, kesederhaaan dan kesejukan kembali, kita hanya perlu menunggu.
"Sampai jumpa, Sabit."ucapku menatap langit.
Labels: Fiksi Alternatif
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home