Tuesday, March 21, 2017

Hak, tanggung jawab, keberpihakan.

Tadi siang gue baca link berita twitan Bily kompas tentang moral dan penedekatan pemerintah terhadap moral. Thumbnail pic nya si ga representatif bgt, gue pikir artikelnya bakal spesifik ngomongin soal hukuman cambuk (di Indonesia gue kira), ternyata bukan. 

Artikel itu ngomongin soal kegamangan Malaysia (yang sama aja sama Indonesia), yang jujur sebelumnya gue pikir itu tidak terjadi disana. Tentang kebebasan dan moral. Ah males banget gue selalu pusing sendiri ngebahas ini, tapi ga pernah ga interested ngomongin ini

Oiya linknya bisa didapet disini 


Satu hal yang terlintas di dalam otak gue setelah baca kalimat terakhir dalam artikel tersebut adalah bahwa kita (bangsa ini di tengah bonus millennials saat ini) udah ga bisa tuh yang namanya menentang sesuatu lewat jalan-jalan yang abusive dan menyalahi wewenang, anak-anak muda jaman sekarang udeh vokal banget sama masalah elit-elit seenak jidat ngatur eksistensi orang-orang dengan dalih moral dan norma yang sebenernya selalu bisa di-challenge sama semua org apalagi anak muda kritis. 

Jadi gue sangat yakin bahwa Indonesia sekalipun suatu saat nanti (mungkin ga akan lama lagi) bakal jadi negara dengan bangsa yang bebas mengekspresikan semua hal, arus informasi bakal sebegitu bebasnya, dan gue pun akan sangat bersyukur dengan hal ini. Kebebasan akan akses semua informasi adalah hal fundamental untuk makhluk yang berpikir. Gue dan mungkin kelak anak-anak gue akan sebegitu mudahnya mempelajari banyak hal lewat internet dan mengembangkan potensi yang kita pilih dan kemudian menjadi ahli di bidang tersebut dengan mudahnya.

Tapi inget! Secara logika dari jaman kapan tau, hak yang besar tidak pernah datang tanpa adanya kewajiban yang besar pula. Karena semua akses terbuka untuk segala jenis hal, mau itu soal komunalitas atau pun kebebasan individu, maka dengan demikian semua berhak menilai dan memilih keputusan dengan pertimbangan antara dua hal, individu dan masyarakat, ini lah tanggung jawab yang besar implikasi adanya hak yang besar tersebut.

Lantas dari mana asal hasil pertimbangan dua hal tersebut? 

Gue lebih suka untuk nyebut hal itu adalah keberpihakan, ketimbang menyebutkan dengan kata moral. Karena menurut gue kata moral tuh boomerang banget, secara kasat mata keliatan objektif, padahal itu hal paling subjektif di dunia. 

Sedangkan keberpihakan, jelas, tidak munafik, sedari awal ngaku subjektifitasnya, dan tidak bisa didalilkan tanpa menjelaskan alasan. Keberpihakan itu dipelajari dan dihayati. Tak mungkin muncul tanpa ilmu dan tanpa pengalaman, bukan yang sifatnya dogmatis, harus beralasan. 

Nyambung dong dengan kebebasan akses yang ada? 

Dengan demikian gue percaya bahwa suatu saat nanti (di saat akses informasi sudah sedemikian bebasnya tanpa adanya elit-elit yang ngatur) perbedaan sikap antar orang akan begitu indahnya, 

selama memang "keberpihakan" yang digunakan, tidak munafik, mampu dipertanggungjawabkan, beralasan dan berdasarkan ilmu dan pengalaman. 

Karena toh semua akses untuk melaksanakan tanggung jawab terbuka.







Wednesday, March 8, 2017

Titik Nadir 


Mungkin kalau bisa dibilang, seminggu ke belakang atau mungkin sebulan ke belakang adalah titik terendah dalam hidup saya. Saya berpikir hidup saya seakan tanpa value dan sama sekali tidak bermanfaat untuk orang lain, sedangkan di satu sisi saya seperti kehabisan ide untuk menjadi bermanfaat, seperti kehabisan motivasi mau bagaimana lagi, tidak tahu, dan habislah diam disini, tidur.

Di lamunan tersebut saya berpikir lagi dan lagi, kembali mengenal diri saya, tentang siapa saya, apa yang mau saya tuju, dan hal apa yang saya gunakan untuk mendefinisi diri saya sendiri, Sesekali saya melihat orang lain yang begini begitu, kemudian mulailah muncul dalam diri saya rasa iri kepada nasib orang lain, mengutuk semua hal yang terjadi dalam diri saya, seakan saya adalah orang yang paling menderita di muka bumi ini. 

Segala jenis hal seakan sudah saya coba, mulai dari hal yang saya sukai, yang awal-awalnya masih benar-benar saya kunci kemurniaanya, sampai hal yang "not my thing" akhirnya saya lakukan, tetapi semuanya nilih, dan menjadikan saya merasa semakin kerdil, impoten, dan tidak memiliki potensi. 

Saya mulai menghidar dari orang-orang yang mungkin akan mempertanyakan nasib saya dan cita-cita saya, yang semenjak sebulan yang lalu sudah malas saya pikirkan. 

Namun, hari ini seolah berbeda, entah karena apa, saya mengikhlaskan diri saya untuk bertemu dengan kakak sepupu saya yang sudah tidak saya temui sekitar dua bulan. 

Awalnya memang seperti dugaan saya, mereka mempertanyakan hal yang saya takuti, namun kemudian perbincangan berlanjut ke hal yang sebelumnya tidak saya ketahui, karena keapatisan saya, ternyata sepupu saya sedang mengalami masalah dalam bisnisnya, ia kemudian menanyakan beberapa hal yang ia harap saya mengetahuinya.

Seketika waktu menjadi begitu saya syukuri. Detik-detik tersebut menjadi waktu terbaik dalam hidup saya selama satu bulan ini, seketika saya merasa apa yang saya lontarkan dari mulut saya,  buah dari perjuangan saya selama ini, bermanfaat untuk orang lain, waktu tersebut menjadi sangat bernilai bagi saya, saya begitu bersemangat menuangkan pemikiran saya yang kemudian disambut angguk manis dan diskusi hangat oleh kakak sepupu saya.

Dan, saya kembali melihat senyum itu.


Senyum yang membuat saya kembali berani bermimpi.



Tidak, saya tidak berada di titik nadir.