Saturday, December 21, 2019

Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Juga Harus tentang Kesetaraan



Sejak diterbitkannya Keputusan Nomor 316 Tahun 1959 oleh Presiden Soekarno, setiap 22 Desember di Indonesia diperingati sebagai Hari Ibu. Penamaan peringatan 22 Desember sebagai hari Ibu nampaknya melenceng dari tujuan awalnya. Tanggal ini harusnya disebut sebagai Hari Pergerakan Perempuan, karena sejarah penetapan 22 Desember sebagai Hari Ibu merujuk pada Kongres Perempuan I pada tanggal 22-25 Desember 1928 tak lama setelah sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928.

Faktor pendorong penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia I saat itu adalah untuk menentang kehidupan perempuan di Indonesia yang masih dibawah ancaman budaya patriarki. Dalam pidatonya dalam Kongres tersebut, R.A. Soekonto, panitia penyelengara kongres menyatakan

“perempuan tidak [lantas] menjadi laki-laki, perempuan tetap perempuan, tetapi derajatnya harus sama dengan laki-laki, jangan sampai direndahkan seperti zaman dahulu.”

Terdapat arti besar dalam tanggal 22 Desember, tentang perjuangan mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Agaknya hari-hari dalam bulan November sampai dengan Desember mengingatkan kita pada momen penting untuk kembali membahas tentang kesetaraan.

Sebelumnya, setiap 25 November diperingati sebagai Hari Anti Kekerasan terhadap perempuan secara internasional, yang merupakan hari pilu bagi perjuangan kesetaraan perempuan dan laki-laki di seluruh dunia, pada tanggal tersebut di tahun 1960 Mirabal bersaudara ditemukan meninggal dunia akibat kekerasan yang terjadi secara sistemtis dari kediktaktoran pemerintah Republik Dominika. Kemudian, pada 1991 Women's Global Leadership Institute dikoordinasikan oleh the Center for Women's Global Leadership memulai kampanye 16 Hari Anti Kekerasan berbasis gender yang dimulai pada 25 November sampai dengan puncaknya di tanggal 10 Desember sebagi hari kelahiran Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia.

Kampanye 16 hari ini merupakan langkah yang didorong dalam rangka mencegah dan menghapus kekerasan berbasis gender. Dalam kampanye ini juga disuarakan upaya-upaya untuk memperbaiki hukum dan layanan diantara masyarakat dan pemangku kepentingan untuk mendukung cita-cita pengakhiran diskriminasi berbasis gender, salah satu yang harus disuarakan adalah mendukung pembaruan sistem peradilan pidana yang tidak meneruskan ketidaksetraan berbasis gender.

Tak banyak mungkin yang membahas bahwa perbaikan sistem peradilan pidana harus juga dilakukan untuk mendukung kesetaraan gender. Sistem peradilan pidana berdampak langsung kepada masyarakat. Dalam proses pembentukannya pun, apa yang diatur dalam sistem peradilan pidana diciptakan oleh masyarakat dan akan kembali ke masyarakat. Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa sistem peradilan pidana hingga saat ini belum menjamin prinsip kesetaraan.

Sistem peradilan pidana tidak pernah di-design atau diciptakan untuk perempuan, sistem peradilan pidana diciptakan oleh laki-laki (Zulfa:2013), sebagai pemilik kuasa dalam masyarakat patriarki. Dalam struktur masyarakat seperti ini, perempuan diartikan sebagai milik keluarga sehingga tidak memiliki peran dalam ruang publik, sehingga ketika perempuan terlibat dalam sistem peradilan pidana dianggap terdapar penyimpangan yang terjadi, perempuan menanggung beban lebih besar ketika masuk ke dalam sistem peradilan pidana.

Sistem peradilan pidana dibuat dengan nuansa patriarki yang kental, tidak ada representasi perempuan yang subtansial. Sepanjang sejarah, laki-laki membuat hukum, mengadili, menahan, mengawal, dan mengawasi masyararakat (Schulze: 2015), hanya sedikit perempuan dan hanya baru-baru ini terlibat dalam diskusi tentang sistem peradilan pidana (Belknap: 2015).

Hal ini terbukti dalam konteks Indonesia, boleh jadi aturan yang paling melekat terkait dengan sistem peradilan pidana adalah Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kedua peraturan tersebut, dapat dengan mudah dibuktikan bahwa rumusannya sangat bernuansa partriarki. Dalam KUHP kata spesifik laki-laki hanya dimuat sebanyak 2 kali, dalam Pasal 297 dan Pasal 300 tentang perdagangan orang, itu pun dalam konteks “anak laki-laki” sebagai korban perdagangan.

Sedangkan kata “wanita” atau “perempuan” atau dalam bahasa Belanda dalam terminologi ‘vrouw’ dalam KUHP dimuat setidaknya dalam 27 materi, ya, KUHP ketika membahas perbedaan jenis kelamin, lebih senang mengatur perempuan. Banyak pasal pun diatur dalam konteks peran perempuan dalam anggapan masyarakat yang melanggengkan patriarki, diantaranya: 1) Kriminalisasi melarikan perempuan baik dewasa maupun yang belum dewasa dengan maksud dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap perempuan tersebut (Pasal 332), 2) Kriminalisasi perkosaan hanya untuk korban perempuan dan hanya apabila dilakukan di luar perkawinan (Pasal 285), 3) Kriminalisasi persetubuhan dengan perempuan belum berusia 15 tahun atau belum “waktunya” kawin (Pasal 287), 4) Kriminalisasi spesifik kepada perempuan yang melakukan penguguran kandungan (Pasal 345, Pasal 299), 5) Kriminalisasi Perdagangan orang, yang korbanyanya dianggap hanya untuk perempuan dan anak laki-laki (Pasal 297).

Pengaturan-pengaturan dalam KUHP tersebut menempatkan serangan terhadap integritas tubuh perempuan yang harusnya merupakan suatu bentuk kekerasan dipandang sebagai kejahatan kesusilaan, atau Misdrijven tegen de zeden atau Crimes against morality, atau kejahatan melanggar moral masyarakat. Misalnya dalam Pasal 332 tentang melarikan perempuan yang dilindungi dalam pasal ini adalah pengusaan orang tua atau suami terhadap perempuan lewat asal terminologi ‘bezit’ yang erat diberikan dengan pengusaan benda.

Anggapan perempuan sebagai kepemilikan juga tergambar dari sejarah pengaturan hukum tentang perkosaan. Tidak dikenal dalam KUHP bentuk perkosaan dalam perkawinan. Delik perkosaan dalam Pasal 285 KUHP sama rumusannya dengan Pasal 242 Nederlands Strafwetboek atau KUHP Belanda yang dipengaruhi oleh dinamika masyarakat di Perancis pada abad ke-17. KUHP Belanda sangat erat terkait dengan Code Napoleon. Dalam Code Napolen, delik perkosaan yang diatur bukan ditunjukan untuk melindungi pihak perempuan, namun sebaliknya delik perkosaan bertujuan agar pihak pemilik yang sah dari si perempuan (ayah/suami) mendapatkan perlindungan atas properti yang dimilikinya (Akbari:2016).

KUHP dibuat dengan nuansa yang sangat patriarki, masyarakat akhirnya menanggung bebannya, laki-laki dianggap tidak pernah bisa menjadi korban perkosaan, karena konsep maskulinitas yang kental. Ketika perempuan menjadi korban, yang dianggap terlanggar adalah hak properti keluarganya, suami sebagai pemiliknya tidak pernah dianggap bisa melakukan perkosaan.

Lain lagi ketika kita bicara soal KUHAP, yang bisa dibilang salah satu pembaruan hukum paling dibanggakan di Indonesia. Materi dalam KUHAP yang menjamin kesetaraan subatantif belum tergambar, hanya ada 1 (satu) materi yang terkait dengan gender, pada Penjelasan Pasal 37, dimuat bahwa penggeledahan terhadap perempuan dilakukan oleh pejabat perempuan, hanya materi itu. Padahal kebutuhan spesifik perempuan dalam sistem peradilan pidana tidak hanya terkait dengan penggeledahan, ada soal penahanan yang seharusnya menjamin kebutuhan spesifik perempuan, dengan memperhatikan riwayat viktimisasi perempuan dan pertimbangan tentang tanggung jawab pengasuhan (UNODC: 2011).

Tak berbeda dalam sistem pemasyarakatan sebagai pelaksanaan pidana penjara. Secara historis, konsep pemenjaraan dibangun tanpa memperhatikan kebutuhan khusus berbasis kesetaraan subtantif pada setiap gender. Secara tradisional, penjara diciptakan oleh laki-laki untuk mengontrol laki-laki, steriotip ultramaskulin diterima sebagai  pelayanan pada pemenjaraan (Slingson:2003). Penjara pada saat terbentuk hanya ditujukan untuk laki-laki, penjara diciptakan untuk mengurung laki-laki di lingkungan tertentu (PRI: 2013). Penjara dibentuk dengan pemikiran tentang laki-laki. Laki-laki pun tergambar dengan konsep yang sangat maskulin sesuai dengan semangat masyarakat patriarki. Keseluruhan konsep penjara seperti arsitektur, pengamanan, prosedur, akses kesehatan, kesempatan kontak dengan keluarga dan pelatihan lebih di-design sesuai dengan kepentingan laki-laki (PRI: 2013). Hal yang sama terjadi di Indonesia, tidak hanya berdampak pada kebijakan, namun juga dalam prosesnya tidak banyak pendokumentasian pembentukan kebijakan yang membahas secara khusus tentang latar belakang dibentuknya penjara perempuan (Rahmawati: 2019). Penjara perempuan dibuat dengan membangun tembok besar yang mengurung perempuan, dengan tujuan memisahkannya dengan laki-laki agar tidak terjadi interaksi yang bisa berdampak terjadinya ‘hal-hal yang tidak diinginkan’ (Koesnoen: 1961), hanya sebatas itu.

Kita perlu memahami bahwa memang sistem peradilan pidana harus netral dan tidak memuat diskriminasi berbasis jenis kelamin ataupun gender hasil konstruksi masyarakat. Namun membicarakan tentang kesetaraan dalam pembaruan hukum pidana bukan berarti melupakan ataupun menglorifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Memastikan kesetaraan dalam sistem peradilan pidana berarti menghapuskan perbedaan berbasis gender yang secara sosial dibuat masyarakat yang maskulin untuk mempertahankan status inferior perempuan (Roberts:1994).

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia sejak Juli 1984 telah menjelaskan bahwa kesetaraan bukan hanya sekedar kebijakan tertulis (misalnya hukum yang tidak memuat perbedaan berbagai jenis kelamin), namun lebih dari itu, sesuai dengan Pasal 1 Cedaw diskriminasi harus dihapuskan tidak hanya pada kebijakan, namun juga dalam konteks pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya. Kesetaraan ini bukan berarti mengabaikan perbedaan biologis yang melekat antara laki-laki dan perempuan, namun bukan juga menglorifikasi perbedaan tersebut.

Namun pada praktiknya, sepanjang sejarah, perbedaan biologis tersebut dikonstruksikan oleh masyarakat dengan memegang standar maskulin yang kemudian menghasilkan ketidaksetraan. Misalnya dikarenakan secara biologis hanya perempuan yang bisa hamil, perempuan dianggap satu-satunya yang harus memiliki peran domestik dalam masyarakat, harus menjadi perempuan yang mau hamil, harus menjadi perempuan yang mengurusi urusan domestik dan memiliki beban pengasuhan anak. Kontruksi ini menghasilkan pemahaman bahwa perempuan adalah kelompok yang lemah dan hanya hidup ke lingkup domestik. Ketika ia terlibat pada peran-peran publik, banyak tuntutan masyarakat yang dibebankan kepada perempuan. Agaknya sulit sekali membahas perempuan dalam ranah publik tanpa sekali pun mencampuri urusan domestiknya.

Sebenarnya hal ini tidak hanya berdampak pada perempuan, laki-laki juga menanggung kontruksi masyarakat ini. Laki-laki yang diterima oleh masyarakat adalah laki-laki yang memegang erat maskulinitas. Laki-laki harus sebagai kelapa keluarga, memainkan peran keras pada keluarga dan dibebankan kewajiban memenuhi nafkah.

Hal ini berdampak pada budaya kekerasan dalam masyarakat kita. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dalam Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016, 1 dari 3 perempuan usia 15–64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya, sekitar 1 dari 10 perempuan usia 15–64 tahun mengalaminya dalam 12 bulan terakhir (BPS:2017). Kekerasan fisik merupakan jenis kekerasan yang paling banyak dilakukan oleh suami/pasangan perempuan (BPS:2017), yang mana menempatkan laki-laki sebagai pelaku kekerasan paling banyak.

Kita harus melangkah maju untuk menghilangkan budaya maskulin dan nuasana patriarki yang kental, termasuk dalam sistem peradilan pidana. Upaya pembaruan sistem peradilan pidana telah dilakukan oleh Pemerintah dan DPR. Reformasi KUHP telah diupayakan oleh Pemerintah dan Komisi 3 DPR lewat pembahasan RKUHP. Sedangkan pembaruan KUHAP telah memasuki langkah baru dengan dimasuknya RUU ini dalam daftar prolegnas 2020- 2014. Lantas apakah upaya pembaruan tersebut telah menjamin prinsip kesetaraan? Nampaknya belum sepenuhnya.

Terdapat kemajuan mendasar yang perlu diapresiasi dari rumusan RKUHP dalam konteks menjamin kesetaraan. RKUHP sekarang mengatur tindak pidana perkosaan pada Pasal 479 dalam Bab XXII tentang Tindak Pidana terhadap Tubuh, tidak lagi sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Rumusan nya pun tidak lagi hanya menempatkan perempuan sebagai korban dan laki-laki sebagai pelaku, bersifat gender neutral untuk semua orang. Kondisi bahwa perkosaan juga bisa terjadi di dalam perkawinan pun juga diakomodir oleh rumusan ini. Hal ini jelas langkah maju yang perlu diapreasi. Namun, tetap terdapat beberapa catatan mengenai pembahasan RKUHP ini.

Nampaknya representasi perempuan yang menduduki level strategis dalam perumusan ataupun penyusunan RKUHP cukup minim. Dari segi rumusan pun, masih terdapat beberapa catatan pasal-pasal yang seharusnya bisa didorong untuk menjamin prinsip kesetaraan.

Dalam RKUHP diperkenalkan kriminalisasi setiap bentuk hubungan seksual di luar perkawinan dalam Pasal 417 RKUHP. Memang, rumusan yang dimuat dalam RKUHP bersifat netral tidak hanya untuk pelaku laki-laki atau perempuan, namun nyatanya pemerintah dan DPR belum pernah menganalisis dampak dari pasal tersebut berdasarkan kaca mata gender. Hal ini bisa kita mulai dengan melihat preseden negara-negara lain mengatur hal ini.

Hukum tentang perzinaan tidak hidup dalam ruang hampa, di tengah masyarakat yang patriarki maka hukum tentang kriminalisasi semua bentuk hubungan seksual di luar perkawinan lebih akan menyerang perempuan yang dianggap milik masyarakat. Korban perkosaan yang seharusnya dilindungi negara akan dibayang-bayangi ketakutan kriminalisasi perzinaan, karena sulitnya membuktikan unsur paksaan dalam kasus perkosaan. Hal ini yang terjadi di banyak negara yang memberlakukan kriminalisasi perzinaan. Mokarrameh Ebrahimi di Iran harus dipenjara karena tuduhan zina oleh mantan suaminya di saat ia berusaha menghindarkan diri mantan suaminya yang kasar. Zafran Bibi di Pakistan seorang korban perkosaan harus dipenjara bersama bayi hasil dari perkosaan karena tidak mampu membuktikan unsur paksaan pada perkosaan yang menimpanya, hal yang sama juga terjadi pada Safia Bibi yang sempat ditahan dengan tuduhan perzinaan padahal ia adalah korban perkosaan. Hal ini menimpa anak sekalipun, di Negeria Bariya (13 tahun) harus menerima cambuk 100 kali karena tuduhan perzinaan, padahal lewat fakta umurnya yang masih anak, jelas-jelas ia tidak mampu memberikan persetujuan dalam hubungan seksual.

Memang, rumusan RKUHP tentang perzinaan memuat elemen kunci bahwa kriminalisasi harus berdasarkan laporan dari orang, tua, anak atau pun pasangan pihak yang terlibat. Namun, lagi-lagi rumusan ini pun belum dikaji dari kaca mata gender. Aduan yang dapat dilakukan oleh orang tua menegaskan bahwa hubungan seksual bukan bagian dari diskursus tentang integritas tubuh, lewat pasal ini orang tua dapat saja melaporkan secara pidana anaknya yang telah melakukan hubungan seksual. Hal ini akan berdampak pada munculnya praktik perkawinan anak. Penelitian koalisi 18+ (2016) menujukkan 89% permohonan dispensasi perkawinan berasal dari kekhawatiran orang tua atas tuduhan anaknya sudah berhubungan pacaran, 55% permohonan pun dilakukan untuk anak perempuan. Lewat ancaman kriminalisasi dalam RKUHP, perkawinan akan dianggap solusi atas hubungan seksual di luar perkawinan yang dilakukan anak, khususnya anak perempuan dengan resiko kehamilan lengkap dengan stigma yang melekat terhadapnya.

Belum lagi materi lain dalam RKUHP berkaitan dengan ketimpangan relasi perempuan dan laki-laki, misalnya dalam pengaturan tentang penguguran kandungan. RKUHP masih mempertahankan kriminalisasi spesifik pada setiap perempuan yang melakukan penguguran kandungan dalam Pasal 469 ayat (1) RKUHP, pegecualian pemidanaan hanya diberikan kepada dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, namun belum ada rumusan pengecualian untuk perempuan korban perkosaan. Harusnya juga prinisip kesetaraan dipegang dalam pembahasan RKUHP, diskursus tentang penguguran kandungan tidak perlu lagi menghasilkan rekomendasi kebijakan yang spesifik mengkriminalisasi perempuan yang melakukan penguguran kandungan tanpa pengecualian.

Lainnya, soal pengaturan hukum yang hidup di masyarakat atau living law. RKUHP memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur tindak pidana berdasarkan living law, yang akan diatur dalam Perda. Sebagai catatan, Komnas Perempuan (2018) menyatakan ada 421 Perda diskriminatif terhadap perempuan yang mana mekanisme evaluasi Perda di Indonesia hanya melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Agung. Sayangnya, pasal tentang living law ini pun belum dikaji dengan perspektif gender dan bagaimana pasal ini menjawab adanya kemungkinan munculnya perda-perda diskriminatif berbasis gender.

Lantas bagaimana dengan pembaruan hukum acara? Langkah baik telah diinsiasi oleh Mahkamah Agung lewat penerbitan Peraturan Mahamakah Agung (Perma) No 3 tahun  2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Perma ini secara progresif mengatur materi-materi yang belum pernah terakomodir dalam peraturan perundangan-undangan yang ada, khususnya KUHAP. Banyak materi-materi progresif baru yang diperkenalkan dalam lingkup peradilan misalnya tentang pengertian gender, kesetaraan gender, analisis gender dan materi lainnya  yang mungkin belum pernah ada di peraturan di Indonesia. Dalam aturan ini dimuat tentang kewajiban hakim dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum untuk mengidentifikasi situasi perlakuan yang tidak setara sehingga mengakibatkan diskriminasi terhadap perempuan. Dalam pemeriksaan perkara, hakim diminta agar mempertimbangkan kesetaraan gender dan non-diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan tentang ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan. Dalam aturan ini pun dimuat larangan hakim mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip gender dalam mengadili perempuan berhadapan dengan hukum. Hal ini patut diapresiasi, namun yang menjadi catatan, analisis gender dalam sistem peradilan pidana tidak hanya menjadi tanggung jawab hakim dalam persidangan. Pembaruan ini harus juga dilakukan dalam keseluruhan hukum acara pidana di Indonesia, hal ini bisa dimuat dalam RKUHAP.

Masih banyak catatan untuk mendukung masuknya diskursus kesetaraan dalam pembaruan sistem peradilan pidana di Indonesia. Yang paling penting untuk digarisbawahi adalah bahwa ketidaksetraan gender tidak hanya berdampak pada perempuan, namun kepada semua orang, termasuk laki-laki yang harus terkungkung dalam stigma maskulinitas yang berdampak pada lahirnya budaya kekerasan yang erat dengan laki-laki. Pertimbangan gender harus hadir dalam setiap pembasahan pembaruan hukum pidana, tidak hanya terkait dengan isu yang berkaitkan dengan perempuan ataupun pembaruan kebijakan dengan embel-embel ‘perempuan’. Pedoman mengadili dengan kewajiban hakim menggali analisis gender harusnya tidak hanya diterapkan pada perempuan sebagai cis women namun juga dilakukan kepada siapapun terlepas dari gender apapun, karena pertimbangan gender mempengaruhi semua aspek dalam penikmatan atas sumber daya pembangunan, termasuk akses terhadap keadilan yang harus dijamin dalam pembaruan sistem peradilan pidana.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home