Sunday, August 20, 2017

Sabtu, 19 Agustus 2017

Tadinya saya tidak berniat menulis apapun hari ini, namun hal-hal yang saya alami di hari itu, 19 Agustus 2017 banyak menggelitik hati kecil saya, yang mungkin akan sangat sulit saya jabarkan disini dalam bentuk tulisan, namun saya harap bisa dipahami oleh para pembaca, paling tidak untuk saya sendiri yang mungkin akan membaca tulisan ini kembali tahun depan, 10 tahun lagi, atau pun sesederhana esok.

Pagi siang hari di hari Sabtu kemarin saya yang saat itu sedang berada di salah salah kota di bagian barat Indonesia tengah sibuk mempersiapkan kepulangan saya kembali ke kota Jakarta. Sekitar pukul 12.00 siang, saya telah berada di Bandara Internasional Sultan Kasim II, kota Pekanbaru, waktu yang cukup panjang untuk dengan tenang menanti penerbangan saya pada pukul 14:35. Saya mengisi waktu menunggu dengan makan siang dan sholat dzuhur terlebih dahulu, hingga akhirnya pada sekitar pukul 13:40 saya melaporkan penerbangan saya untuk dapat menaiki pesawat yang saya tumpangi.

Tibalah saya dengan kartu tanda masuk pesawat, selepasnya, saya menyusuri tangga berjalan untuk memasuki ruang tunggu pemberangkatan, tidak ada banyak hal berbeda saat itu, sampai pada suatu ketika saya melihat beberapa tas, kardus dan plastik diletakkan begitu saja di tangga jalan yang hendak saya naiki, saya sempat tertawa kecil melihatnya, berpikir bahwa empunya barang-barang tersebut hanya sedang mengalami kesulitan biasa dan hal itu ia lakukan begitu saja. Belum ada terpikirkan oleh saya saat itu "loh mengapa barang yang cukup banyak tersebut tidak dimasukkan ke dalam bagasi saja?" sampai hal itu terjawab ketika saya menaiki tangga berjalan tersebut. Di atas, terdapat seorang Ibu seorang diri, persis sebaya dengan Ibu saya sedang meminta tolong kepada siapa pun yang berada di atas tangga berjalan tersebut untuk membantu membawakan barang bawaannya yang cukup banyak tersebut sambil menunjukkan muka begitu cemas dan berkata "mba tolong mba, saya udah ketinggalan pesawat, tolong mba" 

Saat itu saya terbingung sambil juga menolong Ibu tersebut membawakan barang-barang untuk memasuki gerbang pengecekan sebelum masuk ke ruang tunggu pemberangkatan. Tiba-tiba suasana semakin riuh dan membuat dada saya menjadi sesak seketika, ada rasa yang menyelimuti sekujur tubuh saya yang kemudian membuat saya sulit bernapas dan ingin bergegas pergi namun serasa tak benar-benar ingin pergi.

Akhirnya saya pergi dan rasa itu hilang begitu saja. Dan tibalah saya kembali di kota Jakarta dengan riuh yang saya ciptakan yang itu-itu saja. Berkelik karena sudah lama tidak bertemu dengan teman-teman, saya bersikeras untuk kembali pergi ke luar rumah kurang dari satu jam saya sampai di rumah, memutuskan menghabiskan malam minggu saya untuk menonton film Indonesia "Turah" yang sudah saya lihat cuplikannya dan saya menyatakan diri untuk melihatnya. 

Di pertengahan film, saya terdiam, tiba-tiba rasa yang persis sama dengan yang tadi siang saya rasakan kembali hadir, membuat saya terdiam seperti sekujur tubuh saya terhimpit, membuat napas saya menjadi pendek dan sulit untuk ditarik. Membawa saya kedalam kerut di kening, dan menjadikan saya diam dalam pening usai menonton film tersebut. Ada hal yang menggelitik yang seperti tidak bisa saya jelaskan. 

Film tersebut menghadirkan banyak kata mengapa, dan bagaimana dalam hidup saya malam itu. Membawa saya pada penglihatan saya tadi siang tentang bagaimana seorang Ibu kocar- kacir sambil menangis, dengan napas yang putus-putus membawa-bawa amplop yang mungkin berisi tiket pesawat meminta bantuan ke semua orang untuk mempermudah langkahnya menuju pesawat yang sedianya akan ia tumpangi. Parasnya begitu cemas, setengah berteriak, memohon agar teriakannya tersebut dapat mencegah pesawat yang akan ia tumpangi untuk berangkat, sayangnya, hal tersebut tidak terjadi. Ia kemudian jatuh tersungkur di samping mesin pemeriksa logam, dengan napas yang tersengau-sengau, menangis, kaki yang bergetar-getar, seraya terus terbelenggu dalam kecemasan. Satu kalimat yang saat itu mampu saya ucapkan didekatnya yang tengah dirangkul oleh petugas hanyalah "Ibu tenang dulu" namun tak banyak berubah, kakinya terus bergetar, membuat saya tak mampu melihatnya.

Ketika itu saya hanya dapat berjalan merunduk, mengerutkan kening, mempertanyakan banyak hal yang tidak mampu saya jabarkan, mengapa bisa hal-hal yang mungkin oleh satu kelompok tertentu sebagai hal kecil dan biasa dapat dinilai begitu mencemaskan bagi yang lain, bahkan sampai seolah mengorbankan rasa nalar dan membuat seolah hari berakhir. Di kepala saya hanya ada pertanyaan mengapa dan bagaimana. Apakah mungkin ada andil saya yang menciptakan hal tersebut terjadi? Lantas mengapa saya seperti merasakan sakit di dada saya melihatnya? Apakah saya bertanggung jawab atas hal tersebut? Lantas mengapa saya merasa kesakitan? Apakah saya memang harus melakukan sesuatu?


Pertanyaan-pertanyaan tersebut menggiring saya ke dalam tulisan ini, saya paham ujung-ujungnya memang saya tidak melakukan apapun yang besar, namun dari dua momen hari itu, kehidupan saya seperti disentil, banyak satir yang dihadirkan dalam balutan hal-hal yang sangat sederhana, membuat saya kembali merefleksikan apa yang sebenarnya saya tuju, dan apa yang saya definisikan sebagai hidup, dan bagaimana saya menghidupinya, dan harusnya saya bersyukur masih diperlihatkan hal ini, harusnya.... atau mungkin saya hanya akan lupa?

tidak tahu.








Untuk teman-teman, mungkin bisa disempatkan waktunya untuk melihat film "Turah" walaupun saya juga tidak bisa tahu apa yang akan teman-teman rasakan dan lakukan setelahnya, sempatkan saja, ya.


   


Wednesday, August 16, 2017

Di momen kemerdekaan ini, izinkan gue sedikit cerita tentang refleksi hubungan gue dengan bangsa gue ini.

Beberapa minggu lalu gue ada di satu project, bertugas mendampingi researcher dr stanford uni yg lg riset soal perdagangan orang di asean

Indonesia salah satu negara penelitiannya. Teman gue, Mas Adhi dan gue bertugas mendampingi researcher tersebut untuk wawancara beberapa lembaga negara dan CSO yg bergerak di bidang perdagangan orang di Indo

Jadilah kita keliling berbagai NGO tersebut. Mostly base mereka bukan di gedung-gedung kantor oke macam cbd cbd terkemuka di J akarta

Sepulang dari salah satu NGO di cawang dengan jalan masuk-masuj yf agak ribet gue nanya ke temen gue Mas Adhi

Doi ambil master nya di Jerman,  sekitar 6 tahun di Jerman dan pernah kerja di beberapa NGO disana

"Mas adhey, NGO-NGO di Jerman tuh kantor di rumah2 kayak disini ga? Atau mereka udh kaya dan di gedung2 gitu?"

Terus doi diam sejenak, narik napas dikit "engga si Mai, udah di gedung-gedung gitu"

Gue jawab "Whoa berarti mereka udh sejahtera ya bisa sewa di gedung gitu, kalau disini kan masih ribet gitu ga si."

Doi buka topik "Iya si Mai, tapi kerjanya ga kayak disini Mai, yg diurusin ya bukan yg di wilayah dia sendiri...

"Karena mungkin emg ga ada masalah disana si kayaknya, kayak di kota gue itu padahal itu kota HAM gitu, tapi ya kerjanya gitu"

Gue nanya "emang ga ada masalah apa gitu yg bisa diadvokasiin disana, lah terus lo kerjanya ngapain?"

Dia jawab "Ya gaada yg di konteks nasionalnya, gue aja kalo rapat rutin ya yang diomongin negara lain, kayak Siria, negara-negara timur tengah, negara-negara yang bakal dibantu advokasinya."

Dengan asal bunyinya gue jawab "lah ga seru dong, ga ada dinamika kerjaan kek disini, kan sering heboh macem2 tuh disini, lo ga audiensi ke DPR kemana gitu?"

"Ya engga Mai, udah bagus juga" doi jawab. "Nganterin-nganterin org kemana gitu, jaringan ini jaringan ini ngomongin ini itu?" Gue masih nanya

Sambil nyengir-nyengir doi geleng-geleng. Gue mengkerutkan kening sambil berkata "ih gue gamau ah Indo ada di titik itu, ga seru bat"

Lalu diam sesaat, terus gue nyamber lagi "ih apaan dah, jadi gue maunya apa si sebenernya"


Begitulah hubungan gue dengan bangsa gue, kendati sudah memproclaim diri sendiri untuk berkontribusi di sektor publik dan aktif dalam advokasi, gue juga kurang paham apa yang sebenernya gue harapkan dari hal yang gue lakukan.

Tapi, satu hal yang selalu gue syukuri selama ini, terima kasih Allah Swt, merelakan alam semesta untuk memberikan kemerdekaan ini, klise emang, tapi iya emang begitu.