Wacana Dinas Syariat Islam Aceh untuk memberlakukan Hukum Qisas untuk Pembunuhan: Bukti RKUHP sebagai Mimpi buruk Masa Depan Hukum Pidana Indonesia
Baru-baru ini Dinas Syariat Islam Aceh mewacanakan untuk penerapan hukum Qisas bagi perlaku kejahakan khususnya pembunuhan, bahkan pihak dinas syariat Islam Aceh mewacanakan untuk memberlakukan hukum pancung, atau penghukuman yang dilakukan dengan pemenggalan kepala di depan umum.
Untuk kesekian kalinya saya mengingatkan kepada Pemerintah Aceh bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi hukum dan Hak Asasi Manusia yang sudah diakui dalam konstitusi Indonesia. Salah satu jaminan pengakuan Hak Asasi Manusia tersebut adalah yang tercantum dalam Pasal 28G ayat (2) bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi PBB menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam melalui UU No 5 tahun 1998. Hukum Qisas yang diselenggarakan dengan hukuman pancung merupakan salah satu bentuk perlakuan dan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia berdasarkan Pasal 16 Konvensi tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUUVI/2008 juga telah menolak pelaksanaan hukuman pancung dengan mendalilkan bahwa ukuran yang harus dipedomani tentang penyiksaan harus mengacu kepada rumusan yang dianut dalam instrumen hukum Hak Asasi Manusia yang berlaku di Indonesia, sebagaimana yang diatur UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia). Undang-undang tersebut secara tegas memberikan kewajiban kepada Pemerintah Indonesia sebagai negara peserta untuk mencegah terjadinya praktik penghukuman yang tidak manusiawi.
Sayangnya, upaya pencegahan munculnya penghukuman yang tidak manusiawi tersebut tidak dilakukan oleh Indonesia. Melalui pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Pemerintah dan DPR memasukkan ketentuan mengenai penyimpangan asas legalitas dalam Pasal 2 ayat (1) RKUHP yang mengakomodir pendefinisian tindak pidana berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) draft terakhir 2 Februari 2018 dimuat bahwa ketentuan mengenai hukum yang hidup di masyarakat tersebut akan diatur dalam Peraturan Daerah yang akan dikompliasikan dalam Peraturan Presiden.
Pengaturan penyimpangan asas legalitas ini jelas akan menghadirkan berbagai jenis Peraturan Daerah yang mengatur tindak pidana yang bertentangan dengan hukum pidana nasional, termasuk memuat penghukuman yang bersifat tidak manusiawi. Pihak perumus RKUHP mendalilkan bahwa pengaturan Pasal 2 ayat (1) RKUHP tidak akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak akan bertentangan dengan peraturan perundang-undang karena dalam Pasal 2 ayat (2) RKUHP dinyatakan
Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Pengaturan ayat tersebut bukanlah jaminan, bahwa Peraturan Daerah yang akan mengatur tentang hukum yang hidup dalam masyarakat tidak akan bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Hak Asasi Manusia dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat hukum adat. Kita dapat melihat contoh melalui berlakunya Qanun Jinayat di Aceh yang mengatur tentang hukuman cambuk di depan umum, secara tegas Menteri Dalam Negeri telah mengirimkan surat 188.34/1655/SJ kepada Gubernur Aceh yang memaparkan 58 poin pertentangan Qanun Jinayat dengan UU Nasional. Namun begitu hingga sekarang, Qanun Jinayat tetap belaku dan hukuman cambuk masih tetap dilaksanakan bahkan sampai dengan Januari 2018 lalu. Kewenangan pembatalan Perda oleh Menteri Dalam Negeri pun telah dicabut oleh Putusan Mahkamah Konsitusi 56/PUU-XIV/2016. Lantas satu-satunya cara menghapus Peraturan Daerah yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dilakukan melalui permohonan judicial review ke Mahkamah Agung dengan beban 900 berkas untuk 1 hakim (Biro Humas MA, Abdullah, Desember 2017).
Adanya wacana pemberlakukan hukuman pancung harusnya menjadi momentum bagi Pemerintah dan DPR yang saat ini masih dalam proses membahas RKUHP untuk memikirkan ulang pengaturan tentang hukum yang hidup di masyarakat. Kita, bangsa Indonesia telah memiliki contoh buruk pelanggaran Hak Asasi Manusia melalui hukum pidana di Aceh, lantas apakah melalui pembaharuan hukum pidana kita akan meneruskan contoh buruk tersebut?
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home