Refleksi untuk kita semua: Orang Hukum, Kita harus lebih baik!
Seminggu belakang ini saya gusar, melihat di jagat sosial media banyak utas-utas dari orang-orang yang mengaku berpredikat pendidikan hukum mati-matian mengkritik kerja-kerja advokasi yang meminta penundaan pengesahan RKUHP. Utas-utas tersebut membredel isi RKUHP dengan meng-capture bunyi pasal lengkap dengan analisis normatif berdasarkan bunyi pasal.
Orang-orang hukum tersebut melebel gerakan dengan kata-kata “wah ngga baca” “yah ngga ngerti subtansi hukum” “baca dong pasalnya”, kemudian perdebatan muncul bak di ruang sidang menjadikan isi RKUHP makin terlihat simpang siur, sehingga makin banyak tergambar ketidakpastian yang harusnya mampu dilihat oleh orang-orang hukum sebagai suatu masalah dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang harusnya diminimalisir agar tidak dimuat dalam RKUHP yang akan disahkan.
Orang-orang “hukum” tersebut lantas membela mati-matian isi dan formulasi pasal, dengan menyatakan bahwa isi pasal mengandung “unsur-unsur” pengaman yang harusnya dibaca, dan menuduh kekhawatiran masyarakat bukan berdasar pembacaan pasal.
Saya sedih, orang dengan latar belakang pendidikan hukum dalam proses memberikan masukkan terhadap penyusunan perundang-undangan justru menyerah dan hanya berangkat dari analisis “normatif”, RKUHP menjadi norma saja belum.
Kita lupa ataupun saya seharusnya mengingatkan bahwa yang kita kritisi saat ini adalah proses penyusunan RUU, terlebih lagi RUU yang memiliki ide “rekodifikasi” hukum pidana, yang harusnya berdasar evaluasi menyeluruh terhadap semua ketentuan hukum pidana yang berkembang untuk dimasukkan kembali secara sistematis dalam suatu kitab hukum pidana yang baru. Kita juga lupa bahwa yang kita kritisi adalah proses “kriminalisasi” atau proses menentukan suatu perbuatan menjadi tindak pidana, yang tidak mungkin hanya dilakukan berdasarkan analisis normatif.
Harusnya orang hukum mampu menganalisis lebih dalam, bahwa proses kriminalisasi adalah isu penting dalam hukum pidana (Harduf: 2013). Suatu perbuatan untuk dapat dikriminalisasi harus diperiksa secara ketat dan dievaluasi dengan berbagai kepentingan. Mengapa harus ketat? Karena hukum pidana bersifat memaksa, bukan hanya anjuran namun juga merupakan ancaman. Dalam proses kriminaliasi, perbuatan tidak hanya dikatakan sebagai salah atau benar, namun negara memaksa warga negara untuk menerima konsekuensi apabila perbuatan tersebut dilakukan (Husak: 2008). Konsekuensi tersebut tidak disukai (Simester dan Hirsch: 2011) Dengan dampak yang seperti itu, maka proses kriminalisasi harus dengan batasan (Shute dan Simester: 2002).
Ada banyak teori dasar yang menjelaskan cara-cara untuk menentukan suatu perbuatan perlu untuk dikriminalisasi atau tidak, yang harus disertai batasan. Misalnya Schonsheck menjelaskan tentang 3 saringan dalam proses kriminalisasi, Husak menjelaskan tentang 7 batasan tentang kriminalisasi yang terbagi menjadi 3 batasan internal dan 4 batasan eksternal dan Sudarto yang menjelaskan proses kriminalisasi sebagi masalah sentral hukum pidana harus memperhatikan 4 aspek yaitu: 1) penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional: penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat, 2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian atas warga masyarakat, 3) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle), 4) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelebihan beban tugas. Harusnya yang pertama dianalisis orang hukum adalah hal ini, baru kepada formulasi pasal.
Saya ambil contoh salah satu pasal dalam RKUHP yang “dibela” formulasinya oleh orang-orang berpredikat hukum tersebut, dan menyatakan gerakan yang menolak pasal ini tidak membaca keseluruhan isi pasal.
Tentang larangan mempertunjukkan alat pencegah kehamilan
Pasal 414
Setiap Orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada Anak dipidana dengan pidana denda paling
banyak kategori I.
Pasal 416
(1) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 tidak dipidana jika
dilakukan oleh petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana, pencegahan penyakit infeksi menular seksual, atau untuk kepentingan pendidikan dan penyuluhan kesehatan
Kekhawatiran yang beredar di masyarakat adalah pasal ini membahayakan karena orang tua tidak bisa mengajarkan anaknya tentang pendidikan reproduksi, karena tidak bisa mempetunjukkan alat pencegah kehamilan kepada anaknya. Kemudian orang-orang yang berpredikat hukum tersebut bilang “SALAH KAPRAH, untuk tujuan pendidikan seks boleh kok ada bunyi pasalnya” dan menolak kekhawatiran masyarakat tersebut dengan melabelnya sebagai “opini liar”.
Miris, analisis orang hukum dalam proses memberikan masukkan terhadap penyusunan UU hanya dilihat dari “bunyi pasal”. Padahal terdapat pertanyaan mendasar yang harus dijawab dalam pembentukan RKUHP ini, apakah melarang perbuatan mempertunjukkan alat pencegah kehamilan ini sejalan dengan kepentingan nasional dan mendukung tujuan kesejahteraan dan pengayoman masyarakat?
Orang-orang hukum tersebut lupa ataupun belum mengetahui bahwa pasal ini berasal dari Pasal 534 KUHP sekarang, yang merupakan pasal dari pemerintah kolonial, yang masuk kembali dalam RKUHP karena tidak dievaluasi, di negeri Belanda pun tidak ditemukan tentang kriminalisasi hal ini.
Jika ditelusuri, asal mula mengapa pasal ini ada dikarenakan pembuat undang-undang saat itu menolak keras pengaruhi ajaran Neo Malthusianisme yang menganjurkan pembatasan kelahiran manusia. Jadi munculnya pasal tersebut adalah untuk menolak konsep keluarga berencana, yang berupaya mencegah perbandingan yang pincang antara sarana penghidupan dengan jumlah kelahiran manusia. Pada 19 Mei 1078, Jaksa Agung mengeluarkan surat edaran yang menyatakan dekriminalisasi de-facto pasal ini, karena pada saat itu Indonesia telah berkomitmen untuk mendukung program keluarga berencana. BPHN yang merupakan bagian Kementerian Hukum dan HAM dalam penelitiannya yang berjudul Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Penanggulangan Prostitusi dan Pencegahan Penyebaran HIV/AIDS pada 1995 juga menyatakan bahwa salah satu intervensi dalam penyuluhan pencegahan AIDS adalah penggunaan kondom (salah satu alat kontrasepsi/keluarga berencana), maka promosinya harus tetap ada demi kepentingan masyarakat luas, tidak boleh dilarang secara pidana.
Yang bergulir kemudian, perumus mengganti larangan nya hanya ditujukkan kepada anak, orang-orang hukum kemudian mendukung begitu saja ide baru soal pentingnya pasal ini “ini pasal nya perlu, untuk mencegah anak melakukan seks bebas”
Padahal orang-orang hukum harusnya bisa menganalisis, bahwa tidak ada hubungannya perilaku seks bebas dengan akses terhadap kontrasepsi. Survei Demografi dan Kesehatan 2017 Buku Remaja oleh BKKBN menjelaskan 8% pria dan 2% wanita remaja melakukan perilaku seksual pra nikah dengan alasan 47% suka sama suka, 30% ingin tahu, 16% terjadi begitu saja, 3% karena dipaksa. Hubungan seksual pada remaja terjadi dengan alasan yang melekat pada perilaku, bukan karena adanya promosi alat kontrasepsi, melarang promosi kontrasepsi/ alat pencegah kehamilan dengan instrumen hukum pidana tidak berarti mengubah perilaku remaja.
Apabila ingin melindungi anak/remaja, yang harus dipikirkan adalah bagaimana anak/remaja mendapatkan informasi dari perilaku seks yang beresiko, ruang informasi dan diskusi tersebut harus dibuka luas.
RKUHP justu membatasi dengan menyatakan hanya boleh dilakukan “petugas yang berwenang”. Padahal berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan 2017 Buku Remaja oleh BKKBN juga, diskusi tentang kesehatan reproduksi remaja paling banyak dilakukan oleh teman sebaya, (62% wanita, 51% pria), diatas diskusi oleh orang tua, saudara ataupun guru, bukan petugas formal yang memberikan informasi kesehatan reproduksi, artinya ketika mengatur haya “pertugas yang berwenang” yang berhak memberikan informasi, maka ruang diskusi kesehatan reproduksi akan berdampak, cita-cita Indonesia dalam SDGs yang menjamin pendidikan seks remaja secara universal tidak akan tercapai. Lantas jelas pasal ini bertentangan dengan kepentingan nasional, bukan?
Ini adalah sebuah ironi, orang-orang hukum yang diharapkan melaju melesat membantu pembaruan hukum pidana lewat analisis mendalam tentang proses kriminalisasi justru menyerah pada analisis formulasi pasal dan kemudian melabel kekhawatiran masyarakat sebagai “opini liar”, bukankah “opini liar” tersebut harusnya menjadi masukkan untuk kita merumuskan RKUHP secara jelas dan ketat?
Refleksi untuk kita semua,
Orang Hukum, Kita harus lebih baik!