Dengan diterimanya laporan kelulusan saya dan berubahlah status beasiswa saya menjadi alumni, maka dengan demikian, sudah lah selesai salah satu momen paling berharga dalam hidup saya. Satu tahun eksperimen yang membuat saya merinding membayangkannya, memberikan arti yang sangat berbeda. Saya namai proses satu tahun tersebut sebagai ruang untuk men-dekolonisasi diri sendiri untuk selamanya.
Di tulisan ini saya akan bercerita tentang penagalaman saya menempuh studi master di UNSW, Sydney Australia. Garis besarnya, ini adalah eksperimen merendahkan hati saya, mendekolonisasi tidak hanya pikiran saya tapi ya diri saya sepenuhnya dan yang paling penting mempelajari diri saya sendiri untuk selalu berusaha mencapai 2 hal sebelumnya, rendah hati dan tidak kolonial.
Saya merujuk jurnal dari George Christopher Dertadian yang judulnya the coloniality of drug prohibition untuk menjelaskan kolonisasi dan dekolonisasi. Pada dasarnya tulisan itu menjelaskan bahwa kolonisasi itu bukan soal satu momen lalu berubah ketika terjadi suatu momen berbeda. Misalnya seperti Indonesia sudah merdeka lantas dianggap kolonisasi sudah tidak ada. Ataupun seperti di Australia yang merupakan negara settler, ketika kedaulatan Australia sudah diakui sebagai negara oleh dunia (bukan negara orang-orang Aborigin) seolah kolonisasi dianggap tidak ada. Bukan berarti kolonisasi-nya sudah selesai, seiring secara formal berubahnya status suatu bangsa.
Tulisan tersebut menjabarkan di awal bahwa kolonisasi yang berasal dari ide imperialis negara-negara Eropa Barat yang merasa sebagai pemilik pengetahuan, bukan semata soal penjajahan, tapi adalah segala ide yang mengecualikan orang atau kelompok tertentu bukan bagian dari dirinya sendiri ataupun meng-exclude kan orang-orang tersebut sebagai kelas di bawahnya, untuk kemudian selanjutnya bisa “diintervensi” berdasarkan kebenaran yang secara superior mereka anggap ada pada diri mereka dan hanya mereka lah sumber kebenaran dan pengetahuan tersebut.
Dari penjelasan tersebut, kita bisa pelajari bahwa benang merah kolonial adalah perasaan atau anggapan superior terhadap orang atau kelompok tertentu, yang outputnya kemudian menjadikan orang atau kelompok lainnya bukan bagian dari dirinya. Ataupun outputnya menjadikan si superior tersebut merasa berada di luar dari hal-hal yang dilakukan kelompok yang di-stigma “lebih rendah”.
Tulisan tersebut juga menjelaskan bahwa ide-ide kolonial tersebut bukan satu momen tertentu tapi adalah satu proses yang masih terjadi hingga saat ini dengan demikian dampaknya masih berlanjut. Dampak paling kentara adalah soal ketimpangan di masyarakat.
Jadi, segala bentuk tabiat meng-superiorkan diri, memisahkan diri dari bagian dari masyarakat, dan berakhir pada pergumulan kelompok yang menganggap dirinya sebagai “superior” yang meng-exclude kelompok lainnya, adalah corak kolonial.
Sedangkan lawannya dari kolonisasi adalah dekolonisasi adalah pemikiran untuk menghacurkan pemahaman merasa superior tersebut, lewat pembelajaran sejarah muka bumi, mengetahui mengapa manusia-manusia di dunia tidak punya akses yang sama dan setara akan pendidikan, ekonomi dan kesejateraan, dan kemudian membangun ide-ide dekonstruktif narasi ‘merasa superior’ tersebut dengan tidak mengecualikan siapapun, dengan menjadi inklusif.
Dari proses belajar saya satu tahun ke belakang, saya mengumpulkan momen-momen yang baik disengaja atau pun tidak, membuat saya belajar untuk terus melawan pemikiran kolonial dalam diri saya, untuk berkontribusi di masyarakat, karena saya bagian dari masyarakat dan segala proses di dalamnya. Dengan segala malapetaka yang pernah ada dan terus berlanjut di muka bumi ini, saya tak pernah punya hak untuk merasa superior karena saya juga korban kolonisasi dan ketimpangan yang terjadi di dalamnya.
Mengapa kuliah?
Momen pertama dekolonisasi diri selama perjalanan studi master adalah mengenal diri saya dan apa yang saya tuju ketika akan berkuliah. Momen ini saya rasakan ketika saya berinteraksi dengan Mba Santi (the late Mba Santi, I miss you), pada September 2019 lalu ketika kami berproses bersama untuk mencegah pengesahan Rancangan KUHP (RKUHP).
Saat itu, dengan RKUHP yang tiba-tiba draf nya berubah dan prosesnya yang bermasalah, singkat cerita dengan back-to-back ke sana kemari, kami berhasil menunda pengesahannya. Lantas setelahnya kami saling peluk, at least, ada hal yang bisa kami syukuri. Setelah saling bersyukur saya bilang kepada mba Santi: “sekarang saya bisa persiapan untuk sekolah, udah kelamaan, Mbak.”
Saat itu saya pikir Mba Santi akan jawab: iya kamu ga sekolah-sekolah, ngapain si, sana sekolah. Prasangka tersebut saya ambil karena Mba Santi baru menyelesaikan Doktor Public Health-nya dari Columbia dan dia melakukannya berbarengan dengan menjadi direktur PUSKAPA. Jadi, pra sangka kolonial saya, yaa dia akan sejalan dengan narasi mainstream masyarakat timpang aja, ya kalau mau kredibel ya nambah gelar. Tapi, Mba Santi tidak menjawab demikian. Dia justru menjawab “Sekolah itu yang penting bukan waktunya, tapi apa tujuan kita untuk sekolah.”
Saya termenung mendengar jawaban tersebut. Walaupun arti besar dari omomgan tersebut baru saya dapatkan jauh setelah perbincangan tersebut. Tapi, saat itu saya mempertanyakan diri: apa ya tujuan saya kuliah. Saya hanya menemukan jawaban bahwa saya ya emang pengen kuliah, tambahannya karena saya makin malu bicara ke sana kemari dengan stakeholders ini itu tapi saya belum kuliah lagi. Tujuannya hanya khas masyarakat timpang aja, biar punya gelar tambahan, dan tidak merasa inferior dalam diskusi-diskusi, that’s all. Ya pemikiran kolonial aja.
Long story short, saya sangat menikmati kontribusi dan peran saya sebagai peneliti. Tidak hanya di ICJR, kesempatan meneliti dengan berbagai lembaga mulai terbuka untuk saya. Saya meneguhkan diri untuk setia pada proses pembahasan satu UU yaitu UU TPKS (tindak pidana kekerasan seksual). Baru setelah itu saya benar-benar mempersiapkan kuliah.
Memilih kuliah dimana?
Saya merefleksikan benar-benar tujuan saya kuliah. Sepanjang 2016 – 2022 saya berkempatan dilibatkan dalam berbagai pengalaman penelitian, advokasi, kolaborasi yang perlu saya rasa perlu dievaluasi dan direfleksikan pada studi lanjutan saya.
Berdasarkan 6 tahun pengalaman dan kesempatan tersebut, saya hanya memilih dua negara yang akan menjadi tujuan studi saya, Australia dan Belanda. Memang, kampus-kampus dengan predikat satu digit dunia banyak di Amerika Serikat dan Inggris, dengan program-program yang sejalan dengan bidang saya yaitu criminal justice, gender dan human rights. Sepertinya oke juga ya kuliah dari program ter- ter- di dunia. Tapi, tujuan saya kuliah yang selalu saya ulang-ulang, bahwa saya butuh mengamplifikasi apa yang saya dan banyak rekan saya di Indonesia lakukan, bukan punya predikat pribadi jadi alumnus kampus dan program tertentu.
Dan analisis saya dengan banyak berkesempatan berdiskusi dengan orang- orang di lingkup perkejaaan saya, negara yang berinvestasi dan memiliki kepentingan untuk mempelajari Indonesia adalah Belanda dan Australia. Belanda karena sejarah kolonisasinya, karena Indonesia meng-copy semua sistem hukumnya, paling tidak masih kental sampai dengan KUHP baru nya. Tapi, saya lihat ya seiring dengan makin lama jarak waktu dengan kemerdekaan Indonesia, interest itu hanya untuk Indonesia ke Belanda, bukan sebaliknya.
Kemudian juga saya cek program studi di Belanda saat itu (saya cek di tahun 2020 – 2021), tidak ada yang sepenuhnya bisa mengkombinasikan 3 interest saya sekaligus criminal justice, gender dan human rights. Yang ada saya harus memilih, kalau saya mau ambil program criminal justice, tidak ada kesempatan ambil kelas gender, pun human rights juga saat itu tidak tersedia. Jadi saya tak berlabuh pada kampus di Belanda.
Sebenarnya saya ingin sekali juga ke Cornell University, Amerika Serikat, karena dia punya
Indonesia Journal, namun, program master yang saya mau di sana tak terafiliasi dengan Southeast Asia Program yang mewadahi si Indonesia Journal tersebut. Sekalipun saya sendiri bisa engage, namun, mata kuliah dalam program studinya sangat jarang terkait dengan hukum publik.
Kemudian, Australia, saya menganalisis kepentingan Australia terhadap Indonesia akan selalu ada. Indonesia adalah border langsung Australia ke Asia. Dan ini pastinya tidak akan berubah seperti Belanda ke Indonesia, karena geografis (ya walaupun akan berubah karena climate change). Jadi ya Indonesia menurut saya akan selalu relevan dengan Australia.
Karena relevansi itu lah, saya memilih Australia. Kalau kata jurnalnya Dan Lev (lupa judulnya) kita perlu melihat semua entitas sebagai pemilik kepentingan. Jadi pikir saya, ya benar kita bisa mengamplifikasi kepada siapa aja, memang itu pekerjaan rumah kita ketika punya kesemapatan kuliah ke luar negeri. Nah, tapi relevansi interest menurut saya harus diperhatikan, untuk mendukung dampak maksimal yang akan saya lakukan.
Jadi, saya kulik program-program yang bisa menggabungkan semua interest saya di Australia yaitu criminal justice, gender dan human rights, dan berlabuh lah pada UNSW.
Sekali lagi, tujuan saya kuliah yang selalu saya ulang-ulang, bahwa saya butuh mengamplifikasi apa yang saya dan banyaaak orang lakukan di Indonesia, tujuan saya bukan memiliki predikat pribadi jadi alumnus kampus dan program tertentu, sekali pun saya bisa melakukannya, tapi demi pemikiran kolonial saya, untuk apa?
Kuliah di Australia?
Satu hal yang selalu membuat saya merinding bersyukur dan ternyata hal ini benar-benar saya butuhkan tapi saya tidak menyadari sebelumnya adalah konteks dekolonisasi dalam setiap hal yang saya kerjakan dalam penelitian dan advokasi.
Dekolonisasi sangat kental dibahas di ruang kelas saya, paling tidak di kampus UNSW (karena saya mendapati teman-teman yang kuliah di Australia merasa tak sebegitunya ini dibahas, saya tak sepenuhnya tahu mengapa, tapi UNSW memang salah satu kampus yang cukup socialist, juga punya berbagai center khusus unutk bahasan Aborigin di berbagai fakultas).
Saya sangat bersyukur diberikan kesempatan untuk belajar lebih dalam tentang dekolonisasi, dan berada di negara settler tersebut dan secara langsung mengkritisi apa yang terjadi di negara tersebut lakukan kepada teman-teman Aborigin. Sedih, marah dan bingung menjadi satu, apa lagi setelahnya ada kejadian soal referendum The Voice di Australia dan Oct 7, 2023 di Palestina—berlanjut ke Prabowo Gibran, yang membuat semuanya kemudian jadi sangat relevan dan kontekstual.
Sebelumnya saya tak pernah benar-benar belajar tentang dekolonisasi. Saya pikir di Indonesia bahasan itu tidak relevan, toh Indonesia sudah merdeka juga bukan negara settler. Tapi kuliah di Australia dengan 3 mata kuliah pertama yang mewajibkan menggunakan dekolonisasi sebagai pisau analisis, membuat saya termenung dan terpacu. Seperti saya mau ngatain diri sendiri “kemana aja lo hey?”
Di mata kuliah-mata kuliah tersebut, saya membahas bagaimana imperialis Eropa masuk ke Australia, terus membuat federasi dan membuat konstitusi. Di proses pembentukan konstitusi tersebut memang intended jaminan HAM sangat sedikit diberikan, usulan soal perlindungan HAM dan persamaan kedudukan untuk setiap orang ditolak, benar-benar dalam konvensinya dibahas bahwa jaminan HAM akan berdampak pada keharusan dihapuskannya hukum kolonial yang Australia berlakukan pada orang Aborigin dan imigran Asian, dan
mereka menolak hal tersebut terjadi. Bayangkan proses bahasan pembuatan konstitusi serasis itu?
Lalu, ini salah satu yang paling mind-blowing dalam hidup saya. Konteks dekolonisasi juga saya pelajari dalam bidang saya soal gender dan feminisme. Saya menuliskan 2 essay saya tentang bahasan aborsi. Aborsi adalah salah satu isu yang paling contentious di feminism karena berkaitan dengan kritik terhadap diri feminism sendiri. Aborsi sebetulnya tidak selesai bahasannya dengan “pro-choice” karena narasi itu dari feminis liberal, yang tidak sepenuhnya kontekstual untuk semua Perempuan.
Yang paling kiritikal, pro-choice luput untuk memperhatikan concern feminis kulit hitam dan kulit bewarna. Di sini menekankan pentingnya interseksionalitas di feminism, soal analisis dekolonisasi (sering ya feminism kita berasal dari narasi feminis feminis kulit putih liberal yang kadang ngga relevan dengan masalah kita yang terjajah ini), analisis kelas juga dan pastinya setiap Perempuan lintas identitas termasuk LBTQI (tulisan saya soal aborsi dan interseksional akan dipublish di jurnal saya ya).
Nah bahasan dekolonisasi tersebut tidak hanya selesai saya pelajari dalam konteks konstitusi Australia dan feminisme di isu Aborsi. Namun, ternyata itu juga relevan di Indonesia, yang katanya merdeka. Saya bekesempatan menuliskan jurnal soal
penahanan di New South Wales, Belanda dan Indonesia. Seperti bahasan sebelumnya soal coloniality, bahwa upaya mengecualikan/ meliankan orang-orang tertentu adalah corak kolinial. Salah satunya dimanifestasikan dengan penggunaan penahanan dan pemenjaraan untuk masalah sosial. Jadi orang yang dianggap “bermasalah” secara sosial yaa diasingkan saja di penahanan dan penjara.
Di Indonesia, Hukum Acara Pidana kita di KUHAP memang hukum kolonial yang terus dipertahankan dan dampaknya berlanjut hingga sekarang. Orang melakukan pidana padahal banyak dikarenakan kemiskinan dan akses pekerjaan, tapi respon keadilan-sosial soal ini tidak pernah dilakukan dengan benar-benar oleh negara.
Permasalahan hukum kolonial ini juga ditunjukkan dengan hukum yang tak mengenal dengan benar rule of law. Hukum tak pernah dijalankan benar-benar akuntabel. Kita tidak punya fungsi hakim pemeriksa, karena Belanda pas menjajah kita ngga mau rule of law dihormati di Hindia Belanda. Polisi diperkuat khas pemerintah jajahan, karena aktor keamanan harus diberikan sumber daya lebih untuk mengatur masyarakat yang distigma “bodoh” (ingat ada pengumanan Bahasa Belanda dimana kita Masyarakat Indonesia disamakan dengan anjing).
Alhasil, kesadaran hukum dan kewargaan kita sebagai manusia merdeka kita miniiiiiiim sekali. Dan reformasi serta pasca reformasi perbaikan atau reformasi hukum acara pidana dan sektor keamanan tidak berhasil dilakukan. Ini saya tuliskan di thesis saya, yang menyimpulkan bahwa kebobrokan ini juga dampak penjajahan yang terus dipelihara oleh negara merdeka yang mempertahankan corak penjajah, meliankan masyarakat yang dianggap “masalah”.
The Voice, Palestina dan Prabowo-Gibran
Saya pernah ditanya oleh teman-teman di Sydney waktu masa-masa akhir kuliah saya: “Apa yang kamu dapat dari kuliah ini?” saya jawab dengan merinding. Saya tidak tahu mengapa pengalaman kuliah saya setahun di Sydney seluruhnya sangat kontekstual dengan apa yang terjadi di dunia dan di rumah saya, Indonesia.
Saya hadir langsung di proses referendum yang gagal untuk memperkenalkan The Voice yang merupakan lembaga Orang Aborigin di Parlemen yang wajib dimintakan tanggapan ketika pembahasan suatu RUU. Tapi itu tidak berhasil didukung majority states dan majority votes. Dibahas di kelas dan saya tanya juga dengan dosen-dosen saya, dan memang di Australia sulit menghapuskan ketentuan hukum yang sedari awal rasis dan kolonial, apalagi ubah konstitusi, hanya pernah 8 kali berhasil.
Di bahasan Palestina, lebih merinding lagi. Saya bisa berinteraksi akrab dengan salah satu dosen saya (kulit putih) yang mana dia adalah SJW di twitter militan untuk bahasan pembebasan Palestina. Saat sempat takut hidup di Australia beberapa hari pasca 7 Oktober 2023, karena saya punya identitas muslim yang obvious, dan saya mendapati beberapa akademisi Australia (yang ternyata berafiliasi dengan Zionist Israel) sangat lantang mendukung Israel. Tapi, tidak untuk dosen yang mengajar saya di UNSW. Dosen yang tadi saya akrab, bahkan di kelas dengan lantang menyatakan bahwa dia mendukung pembebasan Palestina, lalu menyatakan kalau mahasiswa di kelas ada yang tidak sepakat hal ini, maka dia bersedia untuk membahas ataupun ditanyain secara intense soal ini. I feel seen at the time (terharu).
Di bahasan Palestina ini saya juga memiliki kesempatan bertemu Ibu terbaiiik Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk Wilayah Pendudukan Palestina, karena Centre for Criminology, Law and Justice (CCLJ) di UNSW mengadakan diskusi internal tentang ini (pastinya ada yang ribut, kalau liat semua diskusinya bu Francesca Albanese pasti ada aja yang gilaaaa). Dari proses ini saya juga memiliki kesempatan di-hire oleh CCLJ menjadi asisten peneliti (yang ini saya ceritakan terpisah aja ya).
Lalu selama di Australia saya juga ber-engage dengan teman-teman socialist alternative di sana yang organize secara rutin aksi Free Palestine di seluruh ibu kota states-states di Australia. Kalau kita saksikan benaran terlihat pergeseran sikap pemerintah Australia soal ini, karena pressure wargnya yang sangat matif. Sampai terakhir Australia mendukung resolusi pengakuan
kedaulatan Palestina. Dari sebelumnya di Oktober 2023 bahkan
tidak bersikap atas gencatan senjata. Tekanan publik benar bekerja!
Ini yang membuat saya belajar banyak bahwa penguatan terhadap komunitas, warga, masyarakat adalah yang paling utama. Tidak ada yang benar-benar bisa kita lakukan, jika sendiri,ataupun dengan kelompok-kelompok kita-kita doang, apalagi ngerasa ekslusif dengan kemampuan atau latar belakang kampus. Lo bayangin di 2024 ini, masih ada orang di lingkaran NGO yang ngerasa superior kayak begini? Apa lo ngga pengen mandii?
Nah refleksi tersebut menjadikan saya sangaat menikmati proses interaksi saya dengan berbagai teman baru dan kolega baru untuk sekedar saling berbagi resah dan bicara soal apa yang harus kita lakukan bersama. Bersama teman-teman, kami inisiasikan kegiatan misalnya diskusi space tentang relevansi sarjana hukum, lalu beresah bersama dengan PPI Australia soal #PeringatanDarurat pasca Prabowo Gibran terpilih dan pilkada akan aneh sekali waktu itu, dengan membuat diskusi publik, hingga ikut pertemuan Sydney Gusar dengan teman-teman mahasiswa di seluruh Sydney.
Saya terharu sekali, beberapa teman reach out saya secara personal mengapresiasi kerja-kerja yang saya gaungkan (padahal kerja semua orang) dan menanyakan apa yang bisa dia lakukan. Bahkan orang-orang tersebut bukan dari orang yang lekat dengan isu politik. Saya terharu sekali.
Begitulah sekelumit jalan saya mendekolonisasi diri saya sendiri. Saya tahu bahwa hidup kita ke depan tak akan baik-baik saja, maka saya dengan ini minta tolong untuk teman-teman sekalian untuk kita bersama saling rangkul, bahwa hak dasar kita untuk hidup layak, worth it untuk diperjuangkan bersama, kita berhak hidup bermartabat bersama.
Dan semoga saya bisa jadi teman diskusi yang baik, teman yang inklusif, untuk sama-sama kita bersuara dan bertindak.