Wednesday, February 24, 2016

"Umat manusia sejak ribuan tahun memberikan perlindungan khusus terhadap persatuan intim laki-laki dan perempuan karena kepentingan vital akan keturunannya.

Tambahan pula, agar bayi bisa menjadi orang dewasa yang utuh, dia memerlukan suatu ruang sosial yang terlindungi selama sekitar 20 tahun pertama hidupnya, dengan acuan baik pada manusia laki-laki maupun pada perempuan. Ruang sosial itulah keluarga. Karena alasan yang sama, harapan banyak pasangan homo agar diizinkan mengadopsi anak sebaiknya tidak dipenuhi. Betapa pun pasangan homo mencintai anak angkat mereka, tetapi menjadi besar dalam "keluarga" dua ayah atau dua ibu bisa menyebabkan gangguan dalam perkembangan kesosialaan anak tersebut

Oleh karena itu, masyarakat amat berkepentingan terhadap keluarga dengan ayah dan ibu, tetapi tidak berkepentingan terhadap persatuan dua manusia sejenis."

(Franz Magnis Suseno, dalam Harian Kompas 23 Februari 2016, halaman 6) 


Saya tidak menuliskan judul tulisan ini, karena menurut saya pribadi agak kurang representatif dengan isi keseluruhan artikel tersebut. Saya langsung menandakan bagian tulisan yang saya kutip tersebut dengan stabilo. Saya membacanya berulang kali, karena jauh sebelum bagian tulisan itu muncul Sang Romo (begitu Sang Penulis juga sering disapa) menulis..


"Moralitas pribadi bukan wewenang aparat, suatu prinsip yang penting dalam masyarakat majemuk. Apa yang dilakukan dua orang dewasa atas kemauan mereka sendiri di kamar tidur seharusnya bukan urusan negara."


Agaknya mungkin menurut saya yang awam ini mendasarkan pendapat lewat agama kurang tepat, karena toh yang bergulir sekarang jauh meninggalkan agama, padahal yang saya sedikit ketahui, tidak hanya agama saya saja yang melarang hal ini, tetapi, entahlah. Banyak yang bilang bahwa ini masalah manusia dengan kemanusiaan yang melekat dalam dirinya.

Dengan alasan yang demikian, saya percaya bahwa tindakan yang benar-benar salah adalah tindakan yang menjadikan kita bukan sebagai manusia seutuhnya. Tindakan apapun yang seseorang lakukan dengan tetap menjadikan ia sebagai manusia seutuhnya adalah tepat. 

Manusia yang seutuhnya disini menurut pandangan pribadi saya adalah ketika manusia tersebut pada posisi apapun mencoba bermain peran menjadi orang lain, berusaha memposisikan diri sebagai orang lain, meletakkan kaki di jalan yang pernah dilalui orang lain tersebut, itu lah seni nya manusia berpikir, bukan?

Adakalanya kita memang bebas menentukan sesuatu, itu juga seni manusia berpikir, tapi, menggunakan kebebasan kita untuk berpikir menjadi manusia seutuhnya nampaknya lebih bijaksana.

Hal ini mengingatkan saya pada tulisan yang pernah saya baca sebelumnya, Gandhi, ketika ia ditawarkan untuk menjadi salah satu perumus Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.



Bukankah kita seharusnya merumuskan kewajiban asasi terlebih dahulu? 

Friday, February 19, 2016

Sebelum Saya Mati

Kalau kamu bingung, bagus! berarti kamu berpikir –Sigra, Teater Rentak Harmoni, 30 Januari 2016.

Setidaknya quote itu yang terus saya dengung-dengungkan untuk melegitimasi hari-hari tidak jelas saya belakang ini. Hari-hari di minggu yang sukses membuat saya bingung entah mau jadi apa kedepannya. I hate weekend, seriously, even a have-nothing-to-do weekend. Yaitu weekend kemarin yang pada minggu malam yang lalu membawa saya pada renungan ke-sekian tentang mimpi, masa depan dan pertanyaan Haruskah saya muluk-muluk?

Kegalauan itu muncul pasca saya membaca salah satu artikel di buku yang dengan sangat bersyukurnya saya dapatkan secara gratis, Demi Keadilan: Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana. Salah satu artikel dalam buku tersebut berhasil menarik saya untuk membaca, terlebih lagi judulnya eye catching karena menyertakan istilah pop Indonesia sepanjang masa, dan tidak lepas juga dari ketertarikan saya dengan tema artikel tersebut dan juga penulisnya.

Benar saja, entah asalnya dari mana, isi artikel tersebut mengerucut pada salah satu isu nasional yang sedang hangat saat ini, yang kemudian membawa saya menyelami pemikiran sang penulis, membawa saya pada tulisan-tulisan sang penulis lainnya di buku lain yang pernah saya baca, menghubungkan siapa sang penulis sekarang, dengan namanya yang terkenal seperti Hardman dalam serial Suits, begitulah kira-kira.

Tulisan sang penulis pun berhasil membuat saya tercengang sebentar dan kemudian pundak saya naik sesaat, dilanjuti perut buncit saya yang membesar, maksudnya saya menghela nafas. Saya bertanya-tanya hal yang dengan bodohnya baru saya sadari setelah 3,5 tahun.

Mengapa sekarang orang cenderung mengabaikan kebenaran hakiki hanya untuk mempertahankan formalitas, lalu si nurani kemana?

Hal- hal yang substansi justru diabaikan hanya karena formalitas (yang sejatinya formalitas itu dikonstruksikan) tidak terpenuhi? Lalu dimana letak adilnya? Dan dengan cerdasnya saya sadar bahwa saya termasuk orang tersebut.

Pasca hari itu saya berjalan dengan mengerutkan kening saya, kertas penuh coretan yang harusnya saya perbaiki, saya abaikan begitu saja. Saya merasa dibodohi dengan ini semua, termasuk kertas tersebut, kemudian saya mempertanyakan masa depan kertas tersebut, dan sangsi bahwa apa yang akan saya tulis akan terlaksana, kalau semuanya hanya demi kepentingan uang, cih!

Saat itu saya mempertanyakan kenapa sekarang saya ada disini?
Kerut di kening saya justru tambah panjang pasca Selasa, 16 Februari 2016, setelah saya menyaksikan acara Indonesia Lawyers Club dengan tema… ya itu lah pokoknya dengan pengisi acara multidisipliner (sebelumnya saya jarang menonton acara ini, istilahnya Cuma bakal ngaruyung disitu aja)  

Setelah menonton acara tersebut, saya berani jamin, banyak teman-teman yang akan merasa hal yang sama dengan saya. Malu jadi anak hukum, dengan pendapat yang didasarkan pada hal yang  katanya hak asasi manusia, yang harusnya saya ingat, konstruksinya tidak terlepas dari yang namanya politik. Membuat saya jadi lupa hal-hal yang esensi dan nyata, yang berdasarkan penelitian ahli yang beneran ahli, penelitian yang beneran penelitian.

Kesimpulan ini yang saya tangkap dari acara tersebut, yang semakin membawa saya pada pertanyaan kenapa saya ada disini, dan lebih kenapanya lagi, kenapa saya tidak bisa bodoamat dengan isu ini.

Kenapa-kenapa saya selanjutnya terjadi pada Rabu 17 Februari 2016. Saya bertemu dengan Prof Dr dr. Agus Purwadianto, S.H., M.Si., Sp.F(K) untuk keperluan skripsi saya. Beliau adalah dokter forensik Indonesia yang juga menempuh pendidikan hukum. Walaupun kenapa-kenapa dalam otak saya bertambah pasca bertemu beliau, saya merasa sangat bersyukur pertemuan hari itu pernah terjadi di hidup saya.

Beliau menjelaskan bahwa yang sekarang ditinggalkan oleh orang-orang adalah etika, mendasarkan semua pada what they say hak asasi manusia. Padahal pembentukkan hukum sendiri pun berdasarkan pada etika. Harusnya yang dipelajari etikolegal sehingga pembentuk peraturan ngga akan ngekor aja, nah yang sekarang? liat! hukumnya ngekor. 

Memang banyak yang salah dari Negara ini, termasuk dengan hukum. Tapi kalau memang dasarnya jelas, sejatinya ketidakjelasan ini tidak akan terjadi. Coba lihat kembali filsafat hukum Pound yang menyatakan Law is the social engineering, hukum digunakan untuk mengkreasikan masyarakat yang baru. Selama ini yang dihasilkan apa? Pada sistem peradilan pidana, kalau ada usul baru selalu ditentang ini itu, alasannya hak asasi manusia, padahal kebijakan tersebut belum dicoba. Kebijakan tersebut sebenarnya bisa dicoba sambil dievaluasi ketika dilaksanakan, dari pelaksanaan tersebut pun penelitian hukum akan terus berjalan, orang akan terus berpikir.

Pada kenyataannya memang hukum harus dikritik, itu tandanya manusia berpikir.

Kembalikan pada awal tujuan pembentukan hukum, ngomongnya HAM-HAM mulu, doelmatigheid juga harus dlihat dong, Jeremy bentham ingat, greatest happiness for the greatest number, kita kan tetap tidak merendahkan martabat manusia, toh hak-hak mendasarnya tetap dipertimbangkan.

Ini setiap ada pembincangan tentang kebijakan baru ditentang mulu, ketahuan ngga mau mikirnya.

Bahkan dengan lucunya beliau juga bilang hukum ini skizofren, hidup di dua alam berbeda, masyarakatnya dimana hukumnya masih di zaman romawi.

Saya merasa ditampar-tampar ketika berbicang dengan Prof Agus tersebut, beliau dengan profesi dokternya dan kuliah hukum yang hanya sebentar bisa mendasarkan pendapatnya dengan filsafat hukum yang wow. Walaupun Anak sore, gini-gini bisa diadu filsafat hukumnya.

Dari pengalaman-pengalaman saya diatas memang menghasilkan begitu banyak kenapa dalam otak saya, jujur, saya takut ketika mati nanti saya tidak akan mendapatkan apa-apa dari hidup saya. Saya takut nanti Allah Swt hanya akan bilang Oh kamu Maidina, yang kebetulan lewat di dunia itu yah.

Tapi disisi lain saya mempertanyakan apakah saya bisa jadi apa-apa atau apakah saya bisa memberikan apa-apa untuk hidup saya ditengah keadaan yang begini?

Akhir-akhir ini saya sering bertanya-tanya Kenapa saya tidak jadi seperti Uni saya saja ya?, setiap hari bisa menolong orang lain, tanpa harus pusing sendiri dengan isu-isu politik yang membunuh kebenaran hakiki, kenapa ya?

Saya harus bisa menemukan jawabannya, secepatnya, dengan berpikir, sebelum saya mati.


Kalau kamu bingung, bagus! berarti kamu berpikir –Sigra, Teater Rentak Harmoni, 30 Januari 2016.

Saturday, February 6, 2016

This Week Omnibus





I never thought I'm gonna post anything about any special day, or week or year or anything, cause  I do believe every time is special, when it got to be more special, it is what needs to be, Until yesterday, I know, sometime there are special moments come together. 

I realized almost every day in this week I said, "I need to post this one", "I need to publish them" "I'm gonna write about it soon" and what so any other I'm gonna lala lala.

Since I know that I'm super lazy so so girl, whose no any time to think well about gathering words and do poems , I'll make them in one post, named This Week Omnibus.-there's also a story behind this title, tho. ahaha. I previously would name this post as if Ika Natassa has her Antologi Rasa I have this Anotologi Moments, so I did try to find what antologi would be spelled in english, I then went to thesaurus.com, and eventually met this cutiepie word Omnibus, the synonyms of Anthology, then I used it. (loh malah diceritain) hehe.

This week has truly been so nice to me. -in spite of its clearness telling that February already comes, and It's 1mnth remaining to March
there were several special thing happened which  dragged me to smile, and also brought me the tragedy, but still, they were special.

Start with Monday 25 January, I was mandated do protokoler thing di acara Demi Keadilan: Sebuah Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana memperingati 6 Dasawarsa Prof Haskristuti Haskrinowo, I used to have the similar duty from Mba Henny Sien but this one is different, cause I was directly mandated by my Kanjeng-Ratu-Baik-Sejagad Luvly Pembimbing Skripsiong Mba Nathalina Naibaho when she out of no where chatted me Maidina dan Ridwan di depan Lobi, 25 Januari. I can’t say anthing but yes, daripada daripada Then I started the day with ma superb bright superb yellow jakun just like a freshman (yang lain udeh pada ambil toga, lau masih pake jakun aja) did smile till my teeth so dusty and until that-pengen-ganti-kaki-aja-feeling came. Singkat cerita, that duty was finally over I got back to work at LKBH, and did some pleading review with our aggressive-sarcastic luvly Mr Kusnadi (one thing that I always ask about him is, is it so hard for you not to do any sarcasm, Sir? w tau yang bayar w dkk adalah u, ya tapi,that welcoming sentence you said “aduh gimana nih udah diundur sidangnya masih belum siap juga”, yee padahal situ yang minta diundur, luvly bgt dah) we started to re-read the plea document, each word, each typo, until we realized it was already 12pm, wohooo, btw I like the way we used our group chat to talk about Mr Kusnadi while he was sitting right before our eyes ehehe. I love capturing hilarious pose of Mr Kusnadi too, and that picture which taken by Kelly (which I enclosed here: Bang Fariz, Me, and Bima) was the nicest pic of the night, but since a picture doesn’t has a voice, that tumben akur caption could not be applied (emangnya pernah ada orang yang bisa akur sama Bima, huh?), singkat cerita that meeting was finally over and I have to go home, but cause it was already long after 12pm (like 1.30am) I couldn’t go home due to the portal problem, so I decide going to ma sister’s, riding the motor cycle, going thru margonda raya, raya muchtar, raya sawangan alone, (ya untung ga lewat kukusan, aku bisa mati berdiri) (I thought I have to write a post telling  my experiences with my luvly Redi –si jelek compang camping, since so many people ask me “Mai kok lo berani si pulang naik motor malem-malem sendiri?” “Demi apa lo naik motor?” dkk) bukan sombong sumpah, bukan, tapi just wondering any kind of begal, jambret, preman, harassment seems doesn’t work on me, (gue curiga ini semua gegara doanya bu Elmi sama Pak Zainal). Intinya hari itu berakhir, lanjut ke hari berikutnya yang gue lalui dengan tertidur sepanjang hari. And suddenly in almost prime time, someone chatted me on Line –si fresgred Pai, saying something cute (biasa aja si sebenernya, gue nya aja lebay) yang membuat gue keesokan paginya lebih memilih ketemu doi di kampus buat dengerin ceritanya (super culas gue) daripada sidang Pak Kus.

There was something surprising happened in Sidang Pak Kus, a thing we never expected, Apa ituuu??? *drum roll* The Prosecutor of the case gonna arrange Replik –a document which replies our Pleading, ambisius sekali bapak jaksa L, (kemudian ingat, belum ngerjain duplikL.

Mau ngerjain duplik aja, udah segini dulu.


But seriously, this week incredibly fun!
with photo shoot session on Friday
and
Rentak Harmoni on Saturday -seriously I am so blessed to see the show loh, nanti deh ya kulanjutkan.