Kalau kamu bingung, bagus! berarti kamu berpikir –Sigra, Teater
Rentak Harmoni, 30 Januari 2016.
Setidaknya quote itu yang terus saya dengung-dengungkan untuk melegitimasi
hari-hari tidak jelas saya belakang ini. Hari-hari di minggu yang sukses
membuat saya bingung entah mau jadi apa kedepannya. I hate weekend, seriously, even a have-nothing-to-do weekend. Yaitu
weekend kemarin yang pada minggu malam yang lalu membawa saya pada renungan
ke-sekian tentang mimpi, masa depan dan pertanyaan Haruskah saya muluk-muluk?
Kegalauan itu muncul pasca saya
membaca salah satu artikel di buku yang dengan sangat bersyukurnya saya
dapatkan secara gratis, Demi Keadilan:
Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana. Salah satu artikel dalam
buku tersebut berhasil menarik saya untuk membaca, terlebih lagi judulnya eye catching karena menyertakan istilah pop Indonesia sepanjang masa, dan tidak
lepas juga dari ketertarikan saya dengan tema artikel tersebut dan juga
penulisnya.
Benar saja, entah asalnya dari
mana, isi artikel tersebut mengerucut pada salah satu isu nasional yang sedang
hangat saat ini, yang kemudian membawa saya menyelami pemikiran sang penulis,
membawa saya pada tulisan-tulisan sang penulis lainnya di buku lain yang pernah
saya baca, menghubungkan siapa sang penulis sekarang, dengan namanya yang
terkenal seperti Hardman dalam serial
Suits, begitulah kira-kira.
Tulisan sang penulis pun berhasil
membuat saya tercengang sebentar dan kemudian pundak saya naik sesaat,
dilanjuti perut buncit saya yang membesar, maksudnya saya menghela nafas. Saya bertanya-tanya
hal yang dengan bodohnya baru saya sadari setelah 3,5 tahun.
Mengapa sekarang orang cenderung mengabaikan kebenaran hakiki hanya
untuk mempertahankan formalitas, lalu si nurani kemana?
Hal- hal yang substansi justru
diabaikan hanya karena formalitas (yang sejatinya formalitas itu
dikonstruksikan) tidak terpenuhi? Lalu dimana letak adilnya? Dan dengan
cerdasnya saya sadar bahwa saya termasuk orang tersebut.
Pasca hari itu saya berjalan
dengan mengerutkan kening saya, kertas penuh coretan yang harusnya saya
perbaiki, saya abaikan begitu saja. Saya merasa dibodohi dengan ini semua,
termasuk kertas tersebut, kemudian saya mempertanyakan masa depan kertas
tersebut, dan sangsi bahwa apa yang akan saya tulis akan terlaksana, kalau semuanya hanya demi kepentingan uang, cih!
Saat itu saya mempertanyakan
kenapa sekarang saya ada disini?
Kerut di kening saya justru
tambah panjang pasca Selasa, 16 Februari 2016, setelah saya menyaksikan acara Indonesia Lawyers Club dengan tema… ya itu lah pokoknya dengan pengisi acara
multidisipliner (sebelumnya saya
jarang menonton acara ini, istilahnya Cuma
bakal ngaruyung disitu aja)
Setelah menonton acara tersebut,
saya berani jamin, banyak teman-teman yang akan merasa hal yang sama dengan
saya. Malu jadi anak hukum, dengan
pendapat yang didasarkan pada hal yang katanya hak asasi manusia, yang harusnya saya
ingat, konstruksinya tidak terlepas dari yang namanya politik. Membuat saya
jadi lupa hal-hal yang esensi dan nyata, yang berdasarkan penelitian ahli yang beneran ahli, penelitian yang beneran penelitian.
Kesimpulan ini yang saya tangkap dari
acara tersebut, yang semakin membawa saya pada pertanyaan kenapa saya ada
disini, dan lebih kenapanya lagi, kenapa saya tidak bisa bodoamat dengan isu ini.
Kenapa-kenapa saya selanjutnya
terjadi pada Rabu 17 Februari 2016. Saya bertemu dengan Prof Dr dr. Agus
Purwadianto, S.H., M.Si., Sp.F(K) untuk keperluan skripsi saya. Beliau adalah dokter
forensik Indonesia yang juga menempuh pendidikan hukum. Walaupun kenapa-kenapa
dalam otak saya bertambah pasca bertemu beliau, saya merasa sangat bersyukur
pertemuan hari itu pernah terjadi di hidup saya.
Beliau menjelaskan bahwa yang
sekarang ditinggalkan oleh orang-orang adalah etika, mendasarkan semua pada what they say hak asasi manusia. Padahal
pembentukkan hukum sendiri pun berdasarkan pada etika. Harusnya yang dipelajari etikolegal sehingga pembentuk peraturan ngga
akan ngekor aja, nah yang sekarang? liat! hukumnya ngekor.
Memang banyak yang salah dari Negara
ini, termasuk dengan hukum. Tapi kalau memang dasarnya jelas, sejatinya
ketidakjelasan ini tidak akan terjadi. Coba lihat kembali filsafat hukum Pound yang
menyatakan Law is the social engineering,
hukum digunakan untuk mengkreasikan masyarakat yang baru. Selama ini yang
dihasilkan apa? Pada sistem peradilan pidana, kalau ada usul baru selalu
ditentang ini itu, alasannya hak asasi manusia, padahal kebijakan tersebut
belum dicoba. Kebijakan tersebut sebenarnya bisa dicoba sambil dievaluasi
ketika dilaksanakan, dari pelaksanaan tersebut pun penelitian hukum akan terus
berjalan, orang akan terus berpikir.
Pada
kenyataannya memang hukum harus dikritik, itu tandanya manusia berpikir.
Kembalikan pada awal tujuan pembentukan hukum, ngomongnya HAM-HAM mulu,
doelmatigheid juga harus dlihat dong, Jeremy bentham ingat, greatest happiness
for the greatest number, kita kan tetap tidak merendahkan martabat manusia, toh
hak-hak mendasarnya tetap dipertimbangkan.
Ini setiap ada pembincangan tentang kebijakan baru ditentang mulu,
ketahuan ngga mau mikirnya.
Bahkan dengan lucunya beliau juga bilang hukum ini skizofren, hidup di dua alam berbeda, masyarakatnya dimana hukumnya masih di zaman romawi.
Saya merasa ditampar-tampar
ketika berbicang dengan Prof Agus tersebut, beliau dengan profesi dokternya dan
kuliah hukum yang hanya sebentar bisa mendasarkan pendapatnya dengan filsafat
hukum yang wow. Walaupun Anak sore,
gini-gini bisa diadu filsafat hukumnya.
Dari pengalaman-pengalaman saya
diatas memang menghasilkan begitu banyak kenapa dalam otak saya, jujur, saya
takut ketika mati nanti saya tidak akan mendapatkan apa-apa dari hidup saya. Saya
takut nanti Allah Swt hanya akan bilang Oh
kamu Maidina, yang kebetulan lewat di dunia itu yah.
Tapi disisi lain saya
mempertanyakan apakah saya bisa jadi apa-apa atau apakah saya bisa memberikan apa-apa
untuk hidup saya ditengah keadaan yang begini?
Akhir-akhir ini saya sering
bertanya-tanya Kenapa saya tidak jadi
seperti Uni saya saja ya?, setiap hari bisa menolong orang lain, tanpa harus
pusing sendiri dengan isu-isu politik yang membunuh kebenaran hakiki, kenapa
ya?
Saya harus bisa menemukan jawabannya, secepatnya, dengan berpikir, sebelum
saya mati.
Kalau kamu bingung, bagus! berarti kamu berpikir –Sigra, Teater
Rentak Harmoni, 30 Januari 2016.