Thursday, March 15, 2018

Wacana Dinas Syariat Islam Aceh untuk memberlakukan Hukum Qisas untuk Pembunuhan: Bukti RKUHP sebagai Mimpi buruk Masa Depan Hukum Pidana Indonesia

Baru-baru ini Dinas Syariat Islam Aceh mewacanakan untuk penerapan hukum Qisas bagi perlaku kejahakan khususnya pembunuhan, bahkan pihak dinas syariat Islam Aceh mewacanakan untuk memberlakukan hukum pancung, atau penghukuman yang dilakukan dengan pemenggalan kepala di depan umum.

Untuk kesekian kalinya saya mengingatkan kepada Pemerintah Aceh bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi hukum dan Hak Asasi Manusia yang sudah diakui dalam konstitusi Indonesia. Salah satu jaminan pengakuan Hak Asasi Manusia tersebut adalah yang tercantum dalam Pasal 28G ayat (2) bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi PBB menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam melalui UU No 5 tahun 1998. Hukum Qisas yang diselenggarakan dengan hukuman pancung merupakan salah satu bentuk perlakuan dan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia berdasarkan Pasal 16 Konvensi tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUUVI/2008 juga telah menolak pelaksanaan hukuman pancung dengan mendalilkan bahwa ukuran yang harus dipedomani tentang penyiksaan harus mengacu kepada rumusan yang dianut dalam instrumen hukum Hak Asasi Manusia yang berlaku di Indonesia, sebagaimana yang diatur  UU  No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia). Undang-undang tersebut secara tegas memberikan kewajiban kepada Pemerintah Indonesia sebagai negara peserta untuk mencegah terjadinya praktik penghukuman yang tidak manusiawi.

Sayangnya, upaya pencegahan munculnya penghukuman yang tidak manusiawi tersebut tidak dilakukan oleh Indonesia. Melalui pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Pemerintah dan DPR memasukkan ketentuan mengenai penyimpangan asas legalitas dalam Pasal 2 ayat (1) RKUHP yang mengakomodir pendefinisian tindak pidana berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) draft terakhir 2 Februari 2018 dimuat bahwa ketentuan mengenai hukum yang hidup di masyarakat tersebut akan diatur dalam Peraturan Daerah yang akan dikompliasikan dalam Peraturan Presiden.

Pengaturan penyimpangan asas legalitas ini jelas akan menghadirkan berbagai jenis Peraturan Daerah yang mengatur tindak pidana yang bertentangan dengan hukum pidana nasional, termasuk memuat penghukuman yang bersifat tidak manusiawi. Pihak perumus RKUHP mendalilkan bahwa pengaturan Pasal 2 ayat (1) RKUHP tidak akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak akan bertentangan dengan peraturan perundang-undang karena dalam Pasal 2 ayat (2) RKUHP dinyatakan

Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab. 



Pengaturan ayat tersebut bukanlah jaminan, bahwa Peraturan Daerah yang akan mengatur tentang hukum yang hidup dalam masyarakat tidak akan bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Hak Asasi Manusia dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat hukum adat. Kita dapat melihat contoh melalui berlakunya Qanun Jinayat di Aceh yang mengatur tentang hukuman cambuk di depan umum, secara tegas Menteri Dalam Negeri telah mengirimkan surat 188.34/1655/SJ kepada Gubernur Aceh yang memaparkan 58 poin pertentangan Qanun Jinayat dengan UU Nasional. Namun begitu hingga sekarang, Qanun Jinayat tetap belaku dan hukuman cambuk masih tetap dilaksanakan bahkan sampai dengan Januari 2018 lalu. Kewenangan pembatalan Perda oleh Menteri Dalam Negeri pun telah dicabut oleh Putusan Mahkamah Konsitusi 56/PUU-XIV/2016. Lantas satu-satunya cara menghapus Peraturan Daerah yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dilakukan melalui permohonan judicial review ke Mahkamah Agung dengan beban 900 berkas untuk 1 hakim (Biro Humas MA, Abdullah, Desember 2017).

Adanya wacana pemberlakukan hukuman pancung harusnya menjadi momentum bagi Pemerintah dan DPR yang saat ini masih dalam proses membahas RKUHP untuk memikirkan ulang pengaturan tentang hukum yang hidup di masyarakat. Kita, bangsa Indonesia telah memiliki contoh buruk pelanggaran Hak Asasi Manusia melalui hukum pidana di Aceh, lantas apakah melalui pembaharuan hukum pidana kita akan meneruskan contoh buruk tersebut?



Thursday, March 8, 2018

Mekanisme Pengawasan: Praperadilan vs. Hakim Pemeriksa Pendahuluan


Adanya pengaturan hukum acara pidana yang diatur dalam undang-undang merupakan jaminan terlaksananya peradilan pidana yang bertujuan mencari keberanan materil dan pemenuhan terjaminnya perlindungan hak asasi manusia walaupun tersangka, terdakwa maupun terpidana sedang dalam sistem peradilan pidana yang berhadapan dengan negara. Salah satu aspek penting dalam hukum acara pidana adalah adanya mekanisme pengawasan pelaksanaan sistem peradilan pidana khususnya pengawasan aparat penegak hukum pada saat menjalankan wewenangnya dalam sistem peradilan pidana

Dalam KUHAP yang sekarang berlaku, tidak ada mekanisme khusus yang mengatur tentang sah atau tidaknya proses penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh aparat penegak hukum.  Mekanisme pengawasan tersebut hanya diakomodir secara pasif dengan adanya lembaga praperadilan melalui pengajuan permohonan apabila terjadi pelanggaran atau upaya paksa dilakukan secara tidak sah. Praperadilan bertujuan untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka[1] termasuk juga kewenangan lain yang diperluas dengan Putusan MK No 21/PUU-XII/2014 yaitu pemeriksaan terhadap penetapan sah/tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

Namun dalam perkembangannya, mekanisme praperadilan yang dilaksanakan dengan konsep seperti hukum acara perdata (mengajukan gugatan, hakim pasif) dinilai tidak efektif dalam memberikan ruang perlindungan bagi tersangka dan terdakwa untuk mencari keadilan atas upaya paksa yang dialaminya. Terdapat beberapa kelemahan dalam lembaga praperadilan tersebut, salah satu studi BPHN tahun 2007 menyimpulkan bahwa banyak celah hukum di dalam ketentuan KUHAP yang mana praktiknya sangat bergantung pada diskresi aparat penegak hukum, praperadilan dinilai baru dapat berfungsi ketika pelanggaran atas pelaksanaan upaya paksa telah terjadi (post factum), sehingga lebih bersifat represif daripada preventif[2].  Praperdilan yang dibatasi oleh waktu sebelum masuk ke dalam pemeriksaan perkara juga berdampak tidak efektifnya lembaga ini. Berdasarkan hasil riset ICJR, dari 80 putusan praperadilan yang diteliti, hanya 2 permohonan yang dikabulkan oleh hakim, sisanya ditolak dan sebagian gugur berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP[3][4]. Dalam pemeriksaan praperadilan pun hakim cenderung hanya memeriksa prosedur adminsitrasi, seperti kelengkapan surat, bukan memeriksa dengan seksama syarat yang diuji dalam praperadilan tersebut, misalnya telah dilaksanakan atau/tidak nya syarat subjektif dan syarat objektif dilakukannya penahanan dalam Pasal 21 ayat (1) dan (4) KUHAP[5]. Beban pembuktian dalam lembaga praperadilan pun menjadi persoalan, karena dilaksanakan dengan konsep mengajukan gugatan, maka yang mendalilkan harus membuktikan, dalam hal ini tersangka, sehingga menjadi sulit bagi pencari keadilan untuk membuktikan hal tersebut padahal syarat upaya paksa dapat dilakukan sangat bergantung dengan subjektivitas aparat penegak hukum yang bertindak sebagai termohon praperadilan[6].

Sebagai upaya untuk mengatasi ketidakefektifan lembaga praperadilan tersebut, hadirlah konsep hakim pemeriksa pendahuluan yang diinisiasi oleh perumus Rancangan KUHAP tahun 2012. Konsep ini merupakan perubahan penting dalam rancangan KUHAP[7] dengan memberikan solusi atas lembaga praperadilan yang bersifat pasif dan tidak mandiri. Hakim Pemeriksa Pendahuluan merupakan lembaga yang tidak terikat dalam pengadilan negeri. Kewenangan yang diberikan kepada hakim pemeriksa pendahuluan pun diperluas, tidak hanya terkait dengan upaya paksa yang dibatasi oleh Pasal 77 KUHAP, namun juga didalamnya ada kewenangan lainnya. Sifat pengawasan yang dilakukan hakim pemeriksaan pendahuluan pun juga tidak hanya berdasarkan ada/tidaknya pengaduan atau gugatan yang diajukan oleh pemohon, hakim pemeriksa pendahuluan dapat melakukan pengawasan terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atas inisiatifnya sendiri dengan mekanisme pengajuan izin, penetapan dan putusan penilaian terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

Berikut tabel perbedaan konsep Praperadilan dalam KUHAP dengan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam Rancangan KUHAP 2012

No.
Aspek Perbedaan
KUHAP
Racangan KUHAP
1.
Nama Lembaga
Praperadilan[8]
Hakim Pemeriksa Pendahuluan[9]
2.
Kewenangan
Sah/tidak nya
·      Penangkapan
·      Penahanan
·      Penghentian penyidikan
·      Penghentian penuntutan
·      Ganti kerugian atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan
·      Penetapan tersangka[10]

Mengeluarkan izin:
- surat izin penggeledahan dan menerima laporannya[11]
- surat izin penyitaan dan menerima laporannya[12]
- pembedahan mayat[13]
- surat izin penyadapan[14]
- surat perintah penahanan
- surat permohonan perpanjangan penahanan[15]
- surat izin khusus penyitaan surat atau tulisan lain yang wajib dirahasiakan[16]


-  Menangguhkan penahanan[17]
-  Mencabut penangguhan penahanan[18]
-  Mengetahui penggeledahan rumah[19]
-  Memberikan izin pemusnahan barang siataan[20]
-  Menolak permohonan penyadapan[21]
-  Menerima laporan pelaksanaan penyadapan[22]

Menetapkan atau memutus:
- sah/tidak penahanan[23]
- sah/tidak penangkapan
- sah/tidak penggeledahan
- sah/tidak penyitaan
- sah/tidak penyadapan
- bahwa keterangan tersangka atau terdakwa melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri
- alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti
- ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah
- tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh pengacara
- bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah
- penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas
- layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan
- pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama penyidikan[24]


3.
Yang Memeriksa
Hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri
Hakim mandiri tidak masuk ke dalam skeman Pengadilan Negeri
4.
Yang mengajukan permohonan
Tersangka, keluarga atau kuasanya untuk penangkapan dan penahanan[25]

Penuntut Umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk sah/tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan[26]

Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk permintaan ganti rugi[27]



5.
Lamanya pemeriksaan
Cara cepat selambat-lambatnya 7 hari[28] dengan konsekuensi gugatan gugur apabila pemeriksaan di pengadilan negeri sudah dilakukan
2 hari[29]

permohonan tidak menunda penyidikan[30]

tidak ada aturan tentang gugurnya permohonan, kecuali untuk permohonan ganti kerugian atau rehabilitas, permohonan harus diajukan pada saat perkara belum diperiksa oleh pengadilan negeri[31]
6.
Upaya Hukum
Tidak dapat diajukan upaya hukum[32]
Tidak dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi[33]

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan konsep praperadilan dengan hakim pemeriksa pendahuluan. Praperadilan yang masuk dalam aturan KUHAP merupakan inisiasi dari kalangan masyarakat LBH/YLBHI yang bernama Komite Aksi Pembela Pancasila dalam KUHAP sebagai tanggapan RUU yang sebelumnya pada tahun 1979, pada masa pembahasan KUHAP[34]. Praperadilan hadir terinsipirasi konsep habeas corpus dalam sistem peradilan anglo saxon, yang memberikan hak kepada orang yang ditahan untuk menuntut aparat penegak hukum dalam hal ini polisi dan jaksa untuk membuktikan bahwa penahanannya sah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan konsep yang dihadirkan oleh Rancangan KUHAP dalam konsep hakim pemeriksa pendahuluan sifanya adalah pengawasan secara terus menurus terhadap aparat penegak hukum dalam melaksanakan wewenangnya.
Kewenangan hakim periksa pendahuluan jelas lebih luas dibandingkan dengan konsep praperadilan[35]. Adanya hakim periksa pendahuluan yang bersifat mandiri, terlepas dari beban penyidikan dan diluar bagian dari pemeriksaan perkara dapat menjamin transparansi pemeriksaan yang dilakukannya. Namun begitu terdapat beberapa kelemahan yang juga ditemui jika dibandingkan dengan konsep praperadilan.

-       Walaupun memperbolehkan hakim pemeriksa pendahuluan untuk memanggil tersangka atau pihak lain yang relevan dalam pemeriksaan pendahuluan, namun beban waktu pemeriksaan perkara yang hanya 2 hari berimplikasi pada kemungkinan lahirnya praktik pemeriksaan yang hanya bersifat prosedural dengan batas waktu yang sangat sempit, padahal dalam konsep hakim periksa pendahuluan sifat pemeriksaan adalah terkait dengan aspek materiil dilakukannya upaya paksa, karena sedari awal aspek formil telah dilakukan pemeriksaannya oleh hakim pemeriksa pendahuluan, sehingga jika menggunakan mekanisme permohonan, maka yang diperiksa lanjutan adalah aspek materil. Jangka waktu pemeriksaan yang hanya diatur dalam waktu 2 hari dalam Pasal 112 ayat (2) dapat berimplikasi pada tidak terlaksananya tujuan awal pembentukan hakim pemeriksaan pendahuluan untuk mengatasi praktik praperadilan yang hanya berfokus pada aspek formil saja, terlebih lagi objek pemeriksaan hakim pemeriksa pendahuluan jelas jauh lebih banyak dari praperadilan, sehingga pengaturan tersebut menjadi dapat dipertanyakan efektivitasnya.  

-       Pemeriksaan yang dillakukan oleh HPP pun cenderung tertutup karena sifatnya berdasarkan inisiatif sendiri, hal ini rentan disalahgunakan karena adanya pemeriksaan ini dalam rangka melindungi tersangka, terdakwa, sehingga diperlukan mekanisme transparansi yang jelas. Pengaturan dalam RKUHAP harus menghadirkan konsep hukum acara yang jelas mengenai kewenangan hakim pemeriksa pendahuluan dalam hal dapat memeriksa dengan inisiatif sendiri karena besarnya kewenangan yang dimiliki olehnya.


-       Dalam RKUHAP dijelaskan dalam pasal 117 ayat (2) dijelaskan bahwa terhadap HPP dapat dilakukan pengawasan dengan mekanisme Tim Pengawasan sebagai pengawasan di Pengadilan Tinggi, dalam penjelasan RKUHAP tersebut tidak dijelaskan bagaimana mekanisme pengawasan tersebut, padahal seperti yang telah dikemukakan diatas, bahwa kewenangan yang diberikan dalam RKUHAP sangat besar, semua kewenangan tersebut pun terkait dengan pemberian upaya paksa terhadap tersangka, terdakwa yang mana berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, sehingga menjadi penting untuk mengatur mekanisme pengaduan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan, terlebih lagi dalam mekanisme hukum acara hakim pemeriksa pendahuluan tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. Perlu dicermati kembali apa alasan pengaturan sifat final putusan hakim pemeriksa pendahuluan, padahal dalam rancangan KUHAP konsep pra-peradilan yang akan gugur ketika persidangan pokok perkara telah dimulai yang diatur di dalam KUHAP tidak diakomodir lagi dalam RKUHAP, lantas menjadi dipertanyakan mengapa konsep tersebut dihapuskan namun ruang upaya hukum atas putusan hakim pemeriksa pendahuluan tidak tersedia.




[1] Pasal 77 UU 8 tahun 1981 tetanng Hukum Acara Pidana
[2] BPHN, Penelitian Hukum tentang Perbandingan antara Penyelesaian Putusan Praperadilan dengan Kehadiran Hakim Komisaris dalam Peradilan Pidana, dalam Prospek Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam Pengawasan Penahanan dalam Rancangan KUHAP”, Supriyadi Widodo Eddyono dan Erasmus Napitupulu, (Jakarta: 2014), hal. 5
[3] gugutan praperadilan gugur apabila perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri “dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur”
[4] lihat Praperadilan: Barang Usang yang Harus Ditinggalkan, Apapun Taruhannya!, http://icjr.or.id/praperadilan-barang-usang-yang-harus-ditinggalkan-apapun-taruhannya/,
[5] lihat Institusi Praperadilan Sudah Layak Dimusiumkan, http://icjr.or.id/institusi-praperadilan-sudah-layak-dimusiumkan/
[6] sebagai contoh, Pasal 21 ayat (1) KUHAP mengatur dapat tidaknya penahanana dilakukan, penahanan dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup. Kata “diduga” ini sangat bergantung dengan subjektivitas aparat penegak hukum
[7] Naskah Akademik Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tahun 2012, hal. 6
[8] wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang: sah/tidaknya penangkapan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; permintaan ganti kerugoan atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasannya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan, Pasal 1 butir 10 KUHAP
[9] Pejabatyang diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan dan wewenang lain yang ditentukan dalam UU ini, Pasal 1 butir 7 Rancangan KUHAP 2012
[10] berdasarkan putusan MK Putusan MK No 21/PUU-XII/2014
[11] Pasal 29 ayat (1) jo ayat (3), jo Pasal 69 jo Pasal 70 RKUHAP
[12] Pasal 32 ayat (1) jo ayat (3) jo Pasal 75 RKUHAP
[13] Pasal 38 ayat (4) RKUHAP
[14] Pasal 83 ayat (3) RKUHAP
[15] Pasal 60 ayat (3) jo Pasal 88 ayat (4) RKUHAP
[16] Pasal 79 RKUHAP
[17] Pasal 67 ayat (1) bersama dengan Hakim Pengadilan Negeri jo Pasal 111 ayat (1) huruf b RKUHP
[18] Pasal 67 ayat (2) jo Pasal 111 ayat (1) huruf b
[19] Pasal 72 ayat (1) RKUHAP
[20] Pasal 81 ayat (2) RKUHAP
[21] Pasal 83 ayat (7) RKUHAP
[22] Pasal 83 ayat (8) RKUHAP
[23] Pasal 65 ayat (1) jo Pasal 111 ayat (1) huruf 1 a RKUHAP
[24] Pasal 111 RKUHAP
[25] Pasal 79 KUHAP
[26] Pasal 80
[27] Pasal 81
[28] Pasal 82 ayat (1) huruf c
[29] Pasal 112 ayat (2)
[30] Pasal 112 ayat (5)
[31] Pasal 114 ayat (2)
[32] Pasal 83 jo Putusan MK
[33] Pasal 122 RKUHAP
[34] BPHN, Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (BPHN: 2011), hal. 11
[35] penulis membaginya ke dalam 3 peran besar, 1. Peran mengeluarkan izin, 2. Melalukan tindakan tertentu dan 3. Menetapkan atau memutus.