Saturday, July 26, 2014

Tetaplah Buat Aku Bahagia, Iya, Aku Egois.

Selamat waktu apapun yang kita yakini sekarang, dimanapun alam kaki kita berpijak.

Kita adalah aku dan kamu.

Hari ini 

Di waktu yang kuyakini, di alam kakiku berpijak, aku yakini bahwa akan ada hari esok yang sedikit berbeda dari biasanya.

Di waktu yang kuyakini, di alam kakiku berpijak, aku yakini bahwa hari esok yang sedikit berbeda tersebut harus kumaknai lebih walau Tuhan tak pernah membeda-bedakan hari.

Di waktu yang kuyakini, di alam kakiku berpijak, aku yakini bahwa kumaknai lebih itu adalah bentuk syukurku.

Di waktu yang kuyakini, di alam kakiku berpijak, aku yakini bahwa aku mendamba indahnya senyumanmu.

Di waktu yang kuyakini di alam kakiku berpijak, aku yakini aku terlalu luluh akan rayuan manjamu.

Di waktu yang kuyakini di alam kakiku berpijak, aku yakini aku bergoyang ria di alunan tawamu

Di waktu yang kuyakini di alam kakiku berpijak, aku yakini aku berlari bersemangat bersama tak gentarnya langkahmu.

Di waktu yang kuyakini di alam kakiku berpijak, aku bersandar manis di kuatnya harmoni tulang dan ototmu.

Jika kamu lihat,
Semua tentang aku, aku dan aku yakini.
Aku yakini dengan indahnya senyummu, manisnya rayu manjamu, riangnya tawamu, tak gentarnya langkahmu dan kuatnya harmoni tulang dan ototmu,
aku bahagia.

Semua tentang aku, aku dan aku yakini bahwa 

Aku bahagia.

Semua tentang aku.

Semua tentang aku.

Aku

Aku

Dan 
Aku.

Jadi tetaplah buat aku bahagia.

Iya, karena aku egois

kamu (titik dua)











Yang esok genap berusia 2 tahun
Tetaplah tersenyum
Tetaplah merayu memanja
Tetaplah tertawa
Tetaplah yakin akan langkahmu
Tetaplah sehat dalam balutanNya, 

karena aku ingin bahagia.

Labels:

Monday, July 21, 2014

Semesta Mendukung?

Kemudian ada hal itu
Hal itu menampak tanya, bagiannya yang nya nya itu kemana?
Hal ini simpan.
Loh, dimana?
Disimpan
Dimana?
Sudahlah, hal ini hendak melihatnya
Hal ini terenyuh.
Hal itu, kenapa?
Tak apa, berterimakasihlah.

Hal ini sekarang diam
Nya bersih, habis sudah.

Labels:

Sunday, July 20, 2014

Woalah, Maaf ya.

Kuputuskan untuk menyauti pesan singkat dari handphoneku yang berisikan sebuah undangan berbuka puasa entah dari siapa, namun pesannya mengundangku untuk berbuka puasa bersama dengan perkumpulam mahasiswa universitas baruku asal provinsi sumatera barat. Aku setengah terkejut mendapati pesan tersebut, namun setelah kuingat-ingat lagi ternyata 2 bulan yang lalu ketika aku pertama kali menginjakan kaki di kota ini untuk melakukan pendaftaran ulang penerimaan universitas baruku aku pernah secara sengaja entah angin darimana  aku mengunjungi stand perkumpulan mahasiswa yang berasal dari sumatera barat di universitas baruku. Kurasa dari buku tamu yang aku isi tersebutlah mereka mendapati kontakku.

"Dimas Aditya Raziq_2012_hadir"
Begitu pesannya ku balas.


Pukul 17:35, aku tiba di tempat sesuai dengan undangan dalam pesan singkat di handphoneku, 35 menit keterlambatan menurutku masih bisa ditoleransi untuk manusia baru penjamah kota ini. Suasana tak terlalu ramai, tidak seperti bayanganku. Hanya ada dua meja panjang yang dikelilingi masing-masing oleh sekitar 20 bangku. Aku memilih untuk duduk di meja sebelah kanan di bangku baris kedua, menunggu gaungan adzan maghrib yang di daerah asalku tak selama ini.

"Aneh, bukankah mereka semua disini harusnya sudah bosan dengan semua jenis makanan ini?!"gumamku dalam hati sedikit menggerutu di hadapan piramida piring berisi sambal hijau, sambal merah, ayam bakar, ayam gulai, ayam pop, rendang dan dendeng batokok.

Aku memang terlahir untuk tidak menyukai jenis makanan seperti ini, makanan padang, meski sedari kecil aku sudah terbiasa dihadapkan dengan makanan-makanan seperti ini. Mama dan papa masih begitu setia menyantap makanan padang kendati logat mereka kini beranjak kejawa-jawaan. Iya, aku dilahirkan di Kota Semarang, Jawa Tengah, tapi hidup di keluarga Padang Kota tulen yang merantau ke tanah Wingko Babat. Papaku memiliki usaha mebel yang sudah berumur hampir seusiaku tepat di sebelah utara Simpang Lima alun-alun kota Semarang. Seumur hidup bergulat dengan tempe mendoan dan tahu petis sepulang sekolah lah yang membuatku jauh lebih mencintai kecap ketimbang apa yang mama sebut sambal lado hijau.

"Sanduak lah, ba'a tamanung." Ucap seorang mas-mas yang sepertinya bukan mas mas di sebelahku.
"Iya, mas."jawabku spontan yang kemudian membuat alis mas-mas yang sepertinya bukan mas mas itu naik.
"Loh kok mas?"jawabnya seketika mengubah logatnya.
"Hehe, jangan bingung dulu toh mas. Aku kan emang orang jawa, eh ngga deh, saya asalnya dari SMA 1 Semarang mas, tapi mama papa asli Padang, mas. Nah gara-gara itu deh saya ada disini. Saya bisa kok bahasa Padang, saketek."jawabku diakhiri tawa kami bersama.

Itulah awal perbincangan kami, antara aku dan mas uda Angga. Aku habis ditertawai olehnya karena logat medogku yang tak hilang meski sudah kucoba untuk berbahasa minang, sebagai bonus untuk lebih membahagiakannya, dia memintaku untuk memanggilnya mas-uda yang sebenarnya membuatku geli, mas-uda Angga. Dan sebagai tuntutan maaf dariku, aku memintanya untuk mengantarku pulang ke tempat kosku.

"Dim, di fakultasmu ada sepupu aku, dari SMA 2 Bukittinggi, nadia, kenalan deh, cantik."ucapnya sambil berlalu dengan vespa piaggionya tepat di pagar tempat kosku.

Walapun begitu aku dengar dan masih ingat inti ucapannya, Nadia, cantik, fakultasmu. Insting pemudaku tak kan pernah hilang untuk urusan ini.


Tepat! Hari ini adalah hari dimana aku harus bergegas ke kampusku untuk menghadiri hari orientasi pertamaku. Dengan segala rupa yang diwajibkan aku langkahkan kaki ini menuju tempat yang tak pernah ku tau apa yang akan terjadi di dalamnya.

Sahut-sahut bingar suara para senior menggema kesana kemari yang membuat kami harus bergegas membentuk barisan berbanjar, tiba saatnya salah satu senior dengan suara besar menggelegar memanggil nama kami satu per satu untuk pembagian kelompok. Aku sempat terlupa rencana kepemudaanku tadi malam yang kemudian kembali teringat dengan gemaan 'Nadia Ayu Safitri kelompok 28'.

"Oh jadi itu yang namanya Nadia."gumamku dalam hati. 

Betul seperti yang dikatakan mas-uda Angga, ia cantik, begitu cantik menurutku. Rambutnya diikat indah tepat di tengah kepala belakangnya menjulur panjang, hitam legam. Raut mukanya cerah dengan mata yang berpendar dihiasi oleh kacamata berbingkai hitam nan elegan. Patahan tulang pipinya begitu tegas indahnya senada dengan senyum tipisnya yang begitu hidup, lebih cantik dari cantik.

"Hai Nadia."sahutku menyambut gadis lebih cantik dari cantik itu keluar dari mushola depan kantin kampus sore hari seusai hari orientasi pertamaku , iya, sendari tadi aku membuntutinya.
Gadis lebih cantik dari cantik itu menatapku sesaat dengan kerut dikeningnya, nampak bigung tak bersahabat.
"Awak dimas, nad. Kawan uda Angga, nan di Bukit Tinggi."tambahku yang menurutku adalah solusi jitu untuk hilangnya kerut di kening Nadia.
Ia terperanga. 
"Apa mas?"suara medog tetiba keluar dari bibir indah Nadia.
Mendengarnya aku jauh lebih terperanga, mengapa ia berlogat sama denganku?.
"Kamu nadia yang sepupunya mas Angga bukan?"tanyaku kebingungan 
"yang dari SMA 2 Bukittinggi?" 
"Bukan ya?"
"Bukan toh?"
"Mas Angga yang tinggi besar."
tubuh dan ucapku mulai bertingkah aneh seketika.
Nadia tampak makin bingung
"Bukan, mas, aku dari SMA 2 tapi SMA 2 Semarang. Mas kayaknya salah orang."jawabnya

"Woalah, maaf ya."


Begitulah pertemuanku dengannya.








"Mas dimas, alhamdulillah cerpenmu wes di-acc WO buat jadi souvenir resepsi kita, loveyou!"
-Nadia Ayu Safitri Raziq(delivered:05.13.18..12.00am)

Labels:

Friday, July 11, 2014

4.

"Tit," Terdengar bunyi singkat yang cukup mungil disertai cahaya merah yang seketika menerangi ruang 3×2 sebelah kiri depan Rumah No 7 Blok K Sawangan Regency, Depok yang telah gelap gulita karena telah dipadamkannya lampu yang melekat di atap atasnya. Waktu telah menunjukkan pukul 22:40, waktu yang sudah cukup larut untuk memulai obrolan melalui benda ajaib kecil penghubung termutakhir masa ini, smartphone. Iya, hari sudah terlalu larut untuk berbincang mengingat kewajiban esok pagi untuk bangun dan bersiap sekolah.

Setelah tadi cukup lama bagiku bergulat dengan kerut di kening dan seringai di mulut menanti bunyi ini keluar dari persembunyiannya. Sedari tadi aku sudah menunggu momen ini, momen dimana benda kecil ajaib itu berbunyi dengan disertai cahaya merah dari lampu kecil disudut kanannya. Cahaya lampu merah itu menunjukan bahwa benar itulah dia yang aku tunggu, warna merah yang spesial aku atur hanya khusus untuk dia, dia yang entah sedari berapa banyak jam tadi tak kuketahui sedang apa, berbuat apa dan bersama siapa.

Kubuka 4 pesan line sekaligus, tempat asal lampu merah yang tadi begitu menerangi kamarku, pesan yang hampir menutupi 5 inch layar smartphone-ku.

Pesan pertama
"Maaf aku baru bisa balas chat kamu, tadi ada banyak hal yang harus aku lakukan, sebelum maghrib aku harus mengantar mama ke tempat temannya, kemudian tepat maghrib aku sudah harus berada di rumah, ada guru privatku yang telah datang 30 menit sebelum maghrib tiba, alhasil aku harus terburu-buru untuk segera pulang."

Pesan kedua
"Seusai belajar bersama dengan guruku, masih ada banyak hal yang harus aku kerjakan, mmmm tidak sedikit yang harus aku kerjakan, maaf ya."

Pesan ketiga
"Kamu sedang apa skrg?, sudah tidur ya? Maaf ya aku baru bisa membalas chat-mu semalam ini:("

Pesan keempat
"Yasudah kalau begitu, selamat malam, selamat tidur, mimpi indah, sayang, maaf ya."


Entah aku harus tersenyum atau menangis membaca 4 pesan tersebut, hampir 4×2 jam dirinya hilang entah ditelan bumi yang mana, tiba-tiba muncul di hampir tengah malam dengan hanya memberi 4 pesan kabar yang terdiri 4 kata maaf dan kesimpulan yang cukup empat(re: empet) untuk dibaca. 

Andai dia berpikir sudah 4 kali berapa kali dia melakukan hal ini, pertama menyapaku lewat pesan line sehabis mengantarkanku pulang, dan kurang dari semenit aku membalas pesannya, dia hilang, hilang seperti tengah berburu di hutan rimba dari pagi hingga petang, yang memunculkan kerut di keningku dan seringai tak sedap dipandang di mulutku. Kemudian ia baru muncul, pulang dari perburuannya ketika kerut di keningku sudah mulai kaku mengeras, dan seringai di mulutku sudah mulai mengering, terkelupas.

Iya, entah sudah 4 kali berapa kali dia melakukan hal yang sama padaku. Aku kesal, kesal bukan main. Aku kesal bukan karena dia lebih mementingkan yang lain ketimbang diriku. Aku kesal karena setiap dia seperti ini, hilang entah ditelan bumi yang mana otakku ini tak pernah berhenti memikirkan hal-hal mengerikan yang bisa saja terjadi padanya, mungkin ia terjatuh dari pohon, tertabrak gerombolan serigala yang tengah mengejar mangsanya, tertembak peluru para pemburu di hutan belantara,

Atau mungkin ia tengah menyantap makan malamnya sambil asyik bercengkrama dengan seorang wanita bertubuh langsing nan pipinya tirus, beraroma mawar melati pagi nan segar sambil tertawa manis bersama dan saling bercumbu.

Yang terakhir ini merupakan bagian yang sebenarnya paling mengerikan, dan yang paling mungkin, mungkin.

Setiap dia hilang entah dtelan bumi yang mana harus aku akui bahwa aku tak pernah berhenti  membayangkan hal itu. Dan setiap itu juga seketia aku berusaha merangkai kata-kata ampuhku untuk kukirimkan kepadanya untuk menjawab empat pesan disertai empat kata maafnya itu. Rangkaian kata-kata tajam yang merepresentasikan kerut di keningku yang sudah mulai kaku mengeras dan seringai di mulutku yang hampir mengering terkelupas. Rangkaian kata-kata ala perempuan-perempuan hilang setengah kesadaran yang menghasilkan suasana yang sama mencekamnya dengan suasana perang dunia kedua. Rangkaian kata-kata di bab-bab krusial yang tertera dalam novel-novel teenlit bacaanku sekitar 3 tahun yang lalu. Rangkaian kata-kata ampuh yang cukup sebanding seramnya dengan bayangan gilaku tadi yang kemudian menurutku dapat melipatgandakan 4 kata maaf nya menjadi mungkin 16, atau 64, atau 256 ataupun 1024.

 
"Iya, ngga papa sayang, aku tahu banyak hal yang kamu harus kerjakan, selamat tidur juga, sayang:)"

Bukan, bukan kata-kata ini yang aku rangkai, tapi ini yang terlanjur kukirim.


Emp(a)/(e)t.






the person you care for the most, is the person you'll let hurt you the most, they say.