Kuputuskan untuk menyauti pesan singkat dari handphoneku yang berisikan sebuah undangan berbuka puasa entah dari siapa, namun pesannya mengundangku untuk berbuka puasa bersama dengan perkumpulam mahasiswa universitas baruku asal provinsi sumatera barat. Aku setengah terkejut mendapati pesan tersebut, namun setelah kuingat-ingat lagi ternyata 2 bulan yang lalu ketika aku pertama kali menginjakan kaki di kota ini untuk melakukan pendaftaran ulang penerimaan universitas baruku aku pernah secara sengaja entah angin darimana aku mengunjungi stand perkumpulan mahasiswa yang berasal dari sumatera barat di universitas baruku. Kurasa dari buku tamu yang aku isi tersebutlah mereka mendapati kontakku.
"Dimas Aditya Raziq_2012_hadir"
Begitu pesannya ku balas.
Pukul 17:35, aku tiba di tempat sesuai dengan undangan dalam pesan singkat di handphoneku, 35 menit keterlambatan menurutku masih bisa ditoleransi untuk manusia baru penjamah kota ini. Suasana tak terlalu ramai, tidak seperti bayanganku. Hanya ada dua meja panjang yang dikelilingi masing-masing oleh sekitar 20 bangku. Aku memilih untuk duduk di meja sebelah kanan di bangku baris kedua, menunggu gaungan adzan maghrib yang di daerah asalku tak selama ini.
"Aneh, bukankah mereka semua disini harusnya sudah bosan dengan semua jenis makanan ini?!"gumamku dalam hati sedikit menggerutu di hadapan piramida piring berisi sambal hijau, sambal merah, ayam bakar, ayam gulai, ayam pop, rendang dan dendeng batokok.
Aku memang terlahir untuk tidak menyukai jenis makanan seperti ini, makanan padang, meski sedari kecil aku sudah terbiasa dihadapkan dengan makanan-makanan seperti ini. Mama dan papa masih begitu setia menyantap makanan padang kendati logat mereka kini beranjak kejawa-jawaan. Iya, aku dilahirkan di Kota Semarang, Jawa Tengah, tapi hidup di keluarga Padang Kota tulen yang merantau ke tanah Wingko Babat. Papaku memiliki usaha mebel yang sudah berumur hampir seusiaku tepat di sebelah utara Simpang Lima alun-alun kota Semarang. Seumur hidup bergulat dengan tempe mendoan dan tahu petis sepulang sekolah lah yang membuatku jauh lebih mencintai kecap ketimbang apa yang mama sebut sambal lado hijau.
"Sanduak lah, ba'a tamanung." Ucap seorang mas-mas yang sepertinya bukan mas mas di sebelahku.
"Iya, mas."jawabku spontan yang kemudian membuat alis mas-mas yang sepertinya bukan mas mas itu naik.
"Loh kok mas?"jawabnya seketika mengubah logatnya.
"Hehe, jangan bingung dulu toh mas. Aku kan emang orang jawa, eh ngga deh, saya asalnya dari SMA 1 Semarang mas, tapi mama papa asli Padang, mas. Nah gara-gara itu deh saya ada disini. Saya bisa kok bahasa Padang, saketek."jawabku diakhiri tawa kami bersama.
Itulah awal perbincangan kami, antara aku dan mas uda Angga. Aku habis ditertawai olehnya karena logat medogku yang tak hilang meski sudah kucoba untuk berbahasa minang, sebagai bonus untuk lebih membahagiakannya, dia memintaku untuk memanggilnya mas-uda yang sebenarnya membuatku geli, mas-uda Angga. Dan sebagai tuntutan maaf dariku, aku memintanya untuk mengantarku pulang ke tempat kosku.
"Dim, di fakultasmu ada sepupu aku, dari SMA 2 Bukittinggi, nadia, kenalan deh, cantik."ucapnya sambil berlalu dengan vespa piaggionya tepat di pagar tempat kosku.
Walapun begitu aku dengar dan masih ingat inti ucapannya, Nadia, cantik, fakultasmu. Insting pemudaku tak kan pernah hilang untuk urusan ini.
Tepat! Hari ini adalah hari dimana aku harus bergegas ke kampusku untuk menghadiri hari orientasi pertamaku. Dengan segala rupa yang diwajibkan aku langkahkan kaki ini menuju tempat yang tak pernah ku tau apa yang akan terjadi di dalamnya.
Sahut-sahut bingar suara para senior menggema kesana kemari yang membuat kami harus bergegas membentuk barisan berbanjar, tiba saatnya salah satu senior dengan suara besar menggelegar memanggil nama kami satu per satu untuk pembagian kelompok. Aku sempat terlupa rencana kepemudaanku tadi malam yang kemudian kembali teringat dengan gemaan 'Nadia Ayu Safitri kelompok 28'.
"Oh jadi itu yang namanya Nadia."gumamku dalam hati.
Betul seperti yang dikatakan mas-uda Angga, ia cantik, begitu cantik menurutku. Rambutnya diikat indah tepat di tengah kepala belakangnya menjulur panjang, hitam legam. Raut mukanya cerah dengan mata yang berpendar dihiasi oleh kacamata berbingkai hitam nan elegan. Patahan tulang pipinya begitu tegas indahnya senada dengan senyum tipisnya yang begitu hidup, lebih cantik dari cantik.
"Hai Nadia."sahutku menyambut gadis lebih cantik dari cantik itu keluar dari mushola depan kantin kampus sore hari seusai hari orientasi pertamaku , iya, sendari tadi aku membuntutinya.
Gadis lebih cantik dari cantik itu menatapku sesaat dengan kerut dikeningnya, nampak bigung tak bersahabat.
"Awak dimas, nad. Kawan uda Angga, nan di Bukit Tinggi."tambahku yang menurutku adalah solusi jitu untuk hilangnya kerut di kening Nadia.
Ia terperanga.
"Apa mas?"suara medog tetiba keluar dari bibir indah Nadia.
Mendengarnya aku jauh lebih terperanga, mengapa ia berlogat sama denganku?.
"Kamu nadia yang sepupunya mas Angga bukan?"tanyaku kebingungan
"yang dari SMA 2 Bukittinggi?"
"Bukan ya?"
"Bukan toh?"
"Mas Angga yang tinggi besar."
tubuh dan ucapku mulai bertingkah aneh seketika.
Nadia tampak makin bingung
"Bukan, mas, aku dari SMA 2 tapi SMA 2 Semarang. Mas kayaknya salah orang."jawabnya
"Woalah, maaf ya."
Begitulah pertemuanku dengannya.
"Mas dimas, alhamdulillah cerpenmu wes di-acc WO buat jadi souvenir resepsi kita, loveyou!"
-Nadia Ayu Safitri Raziq(delivered:05.13.18..12.00am)
Labels: Fiksi Alternatif